JAKARTA, KOMPAS.com - Valuasi lingkungan atau nilai sumber daya alam dari ekosistem mangrove, Padang Lamun, dan terumbu karang di Gili Matra, Lombok, Nusa Tenggara Barat, mencapai Rp 50 miliar per tahunnya.
Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, mengungkapkan dengan luas sekitar 3.000 hektare, maka valuasinya sebesar Rp 15 juta per hektare.
"Jadi angka valuasi lingkungan itu sangat lebar sekali, antara mungkin Rp 10 jutaan per hektare sampai dengan ada yang lebih dari Rp 50 juta per hektare," kata Mahawan dalam Lestari Summit & Awards 2025 di Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).
Dia menjelaskan bahwa ekonomi lautan Indonesia telah mencapai angka 28 persen berdasarkan laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Baca juga: Pemerintah Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen pada 2029 Lewat Hilirisasi Sawit
"Artinya kalau kita tidak jaga laut, kita sama saja tidak menjaga ekonomi kita. Itu pesan-pesan yang sederhana betapa besarnya kontribusi laut kepada ekonomi kita," tutur Mahawan.
Menurut dia, selama ini tata kelola lingkungan di Indonesia masih berorientasi pada area darat atau terestrial sehingga aspek kelautan terabaikan. Padahal laut menyimpam potensi yang sangat besar bila dikelola dengan baik.
"Kita butuh sistem ekonomi yang baru, yang mengintegrasikan nilai-nilai ekonomi laut yang selama ini kita lupakan, yang kita eksternalitaskan. Jadi kita harus internalisasikan nilai-nilai baru dari ekonomi laut, ekosistem laut ke dalam sistem ekonomi," sebut dia.
Mahawan juga menyoroti perlunya pendekatan etika dan budaya dalam menjaga laut. Selain itu, Indonesia perlu mengadopsi sistem ekonomi baru seperti biodiversity credit yakni instrumen keuangan berbasis alam.
Hal ini sejalan dengan target global menjaga 30 persen daratan dan 30 persen lautan untuk keanekaragaman hayati.
"Ini juga perlu diintegrasikan dalam sistem ekonomi, diinternalisasikan. Biodiversity green salah satu instrumen ekonomi karena ekonomi lingkungan masih berbasiskan kepada kelas ekonomi pasar," papar Mahawan.
Baca juga: Di Tengah Gencarnya Jargon Karbon Biru, Mangrove dan Lamun Menyusut
"Sehingga uang sistem ekonomi menjaga, membalikan, merestorasi, mengonservasi. Sehingga biodiversitas yang turun drastis sejak tahun 70 khususnya, itu bisa minimal terjadi," imbuh dia.
Ditemui secara terpisah, Ketua Tim Kerja Perencanaan Strategis dan Lintas Sektor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ade Wiguna, menyatakan luasan ekosistem mangrove dan padang lamun kian menurun. Berdasarkan data, RI memiliki mangrove seluas 3,4 juta hektare dengan estimasi nilai cadangan karbon mencapai 887 juta ton karbon.
Luasan lamun sebesar 1,28 juta ha dengan nilai cadangan karbon sekitar 190 juta ton.
"Tercatat ini sejak tahun 1980-2000 kurang lebih 52.000 hektare per tahun mangrove hilang, karena sebagian besar dikonversi menjadi lebih tambak," ungkap Ade dalam Lokakarya Nasional Penataan Ruang Laut pada Ekosistem Karbon biru di Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2025).
Baca juga: Merawat Ekosistem Pesisir Malili lewat Transplantasi Karang dan Restorasi Mangrove
Selain itu, degradasi padang lamun selama 10 tahun terakhir menyebabkan 10 persen luasannya hilang. Ade menjelaskan bahwa limbah, industri, plastik, serta aktivitas tambang turut menyebabkan sedimentasi sehingga merusak ekosistem pesisir.
"Kemudian konflik kepentingan pemanfaatan ruang pesisir ini masih terjadi seperti pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi tambak atau kawasan produktif lainnya," jelas dia.
Masalah lainnya, masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola atau menjaga ekosistem karbon biru. Tata kelola dan regulasi terkait dengan skema perdagangan karbon biru juga masih menjadi tantangan. Pengelolaan karbon biru pun terbatas pada pendanaan dan kelengkapan data.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya