JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia masih menghadapi ancaman intoleransi dan radikalisme yang berpotensi mengganggu persatuan bangsa. Meski aksi terorisme fisik menurun, kebencian terhadap perbedaan kini berkembang di dunia maya.
Salah satunya seperti yang diungkap oleh Setara Institute yang mencatat peningkatan kasus intoleransi hingga 260 peristiwa dan 402 tindakan sepanjang 2024.
Melihat fenomena tersebut, Guru Besar Ilmu Keamanan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Angel Damayanti, menilai bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci untuk mencegah bibit-bibit radikalisme tumbuh subur di masyarakat.
Baca juga: Pemotongan Dana Pendidikan Global Berpotensi Sebabkan 6 Juta Anak Putus Sekolah
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Semua pihak—baik pusat, daerah, swasta, media, akademisi, maupun tokoh masyarakat dan agama—harus terlibat dalam mengatasi intoleransi dan radikalisme,” ujar Angel dalam keterangan resmi, Selasa (14/10/2025).
Bagi Angel, akar permasalahan intoleransi dan radikalisme di Indonesia tidak tunggal. Ada faktor ekonomi, sosial-budaya, hingga politik yang saling terkait. Karena itu, ia menilai pendidikan menjadi solusi paling fundamental.
“Melalui pendidikan, seseorang menjadi tercerahkan dan berpikir lebih luas. Ia tidak melihat perbedaan sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan,” kata panelis Debat Capres 2024 itu.
Sejak 2011, Angel meneliti potensi radikalisme serta kesiapan aparat dan masyarakat dalam mengantisipasi ancaman teror. Ia juga memberikan masukan kebijakan kepada BNPT, salah satunya dengan menekankan pentingnya penguatan kapasitas manusia melalui pendidikan.
Menurutnya, pendidikan yang berkualitas tidak hanya mengatasi masalah kebodohan, tetapi juga membuka jalan bagi peningkatan ekonomi, kesejahteraan, dan karakter bangsa.
Angel sendiri tumbuh dari latar belakang keluarganya yang majemuk. Ayahnya seorang muslim moderat berdarah Betawi-Sunda, sementara ibunya keturunan Tionghoa dari Palembang yang beragama Kristen dan aktif sebagai pendeta di Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).
“Keluarga kami hidup dalam keberagaman. Lebaran, Natal, dan Imlek kami rayakan bersama. Dari situ saya belajar bahwa Indonesia memang seharusnya seperti ini,” kenangnya.
Latar keluarga itulah yang membuat Angel prihatin ketika melihat maraknya aksi intoleran dan kekerasan berbasis agama di Tanah Air. Ia pun terdorong mendalami studi hubungan internasional dan keamanan, termasuk mengambil spesialisasi kontraterorisme di Nanyang Technological University, Singapura.
Bagi Angel, mengajar di kampus saja belum cukup. Bersama sang ibu, ia mendirikan Yayasan Anugerah Bina Bangsa di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang mendirikan SMK Hasael dengan fokus pertanian dan peternakan.
Sekolah tersebut tidak memungut biaya dari siswa dan bahkan menyediakan makanan serta asrama. Lulusan sekolah ini pun berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi di bidang pertanian melalui beasiswa.
“Kalau orang mendapat pendidikan yang baik, mereka bisa bekerja dan menghidupi keluarganya. Dari situ akan muncul efek bola salju yang menyejahterakan masyarakat,” ujar Angel.
Angel mengaku perjalanan pendidikannya tak lepas dari dukungan Tanoto Foundation, lembaga filantropi pendidikan yang memberinya beasiswa S2 di Universitas Indonesia.
Program itu tidak hanya membiayai pendidikan, tapi juga membekali penerima beasiswa dengan soft skills dan nilai-nilai kepemimpinan.
“Saya belajar bahwa setiap orang punya potensi berbeda dan bisa berkontribusi dengan caranya masing-masing. Prinsip itu yang saya terapkan dalam mengajar dan membimbing mahasiswa,” katanya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya