Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Tahun Berjalan, Pasar Karbon Indonesia Belum Menunjukkan Geliat

Kompas.com, 16 Oktober 2025, 10:37 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com — Dua tahun sejak diluncurkan, Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) belum menunjukkan geliat yang diharapkan. Nilai transaksi dan partisipasi pasar masih rendah, bahkan tertinggal jauh dibandingkan skema perdagangan karbon di tingkat global.

Padahal, bursa karbon diharapkan menjadi salah satu pilar utama strategi iklim nasional untuk menekan emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), total transaksi karbon di Indonesia sejak beroperasi baru mencapai Rp 78 miliar atau sekitar 4,9 juta dollar AS dengan hanya delapan proyek terdaftar dan 132 peserta aktif.

Baca juga: Studi Oxford dan Pennsylvania: Carbon Offset Gagal Jawab Masalah, Hentikan Saja

Sebagai pembanding, sistem perdagangan karbon Uni Eropa mencakup lebih dari 11.000 peserta dan menyasar 40 persen dari total emisi kawasan, dengan harga karbon rata-rata mencapai 70 dollar AS per ton CO?. Sementara Jepang, yang baru memulai pasar karbon pada 2024, sudah memiliki 700 peserta dan diperkirakan akan terus meningkat seiring rencana penerapan wajib pada 2026.

“Kinerja pasar karbon Indonesia belum memenuhi harapan, terutama dibandingkan dengan awal yang menjanjikan pada 2023,” ujar Mutya Yustika, Research & Engagement Lead Indonesia Energy Transition IEEFA, dalam keterangan tertulis, Rabu (15/10/2025).

Mutya menjelaskan, pada triwulan akhir 2023, IDX Carbon mencatat nilai transaksi sebesar Rp 31 miliar dengan volume perdagangan mencapai 494.254 ton CO? ekuivalen.

Namun, tren itu menurun pada 2024, di mana harga karbon rata-rata turun menjadi Rp 55.985 per ton, dengan nilai transaksi hanya Rp 20 miliar dan volume perdagangan berkurang menjadi 413.764 ton CO? ekuivalen.

Penyebab Stagnasi

Menurut IEEFA, stagnasi pasar karbon domestik dipengaruhi oleh penerapan strategi penetapan harga karbon hibrid, yaknia gabungan antara sistem cap-and-trade dan pajak karbon.

Dalam skema ini, perusahaan yang melebihi batas emisi diwajibkan membeli kredit karbon atau membayar pajak jika kredit tidak tersedia.

Namun, karena batas emisi ditetapkan terlalu longgar, hanya sedikit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang terkena kewajiban tersebut. Akibatnya, permintaan kredit karbon dan penerimaan pajak karbon menjadi sangat terbatas.

Baca juga: Atasi Emisi karena AI, Big Tech Andalkan Nuklir dan Carbon Capture

Selain itu, tumpang tindih regulasi antar kementerian juga disebut menjadi penghambat utama, terutama dalam proses sertifikasi dan perdagangan, yang menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan investor.

Perlu Reformasi Pasar

Untuk memperbaiki tata kelola, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 110 Tahun 2025 yang bertujuan memperjelas kerangka regulasi dan mendorong kolaborasi lintas kementerian.

Namun, efektivitas aturan ini dinilai bergantung pada implementasi dan pengawasan yang konsisten.

“Reformasi pasar karbon harus dilakukan secara menyeluruh. Mulai dari penetapan batas emisi yang lebih ketat, regulasi yang transparan dan berstandar internasional, hingga memperkuat sistem sertifikasi dan kelembagaan di IDX Carbon,” ujar Mutya.

Meski berjalan lambat, Indonesia dinilai memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon global. Dengan kekayaan hutan tropis, mangrove, dan lahan gambut, Indonesia memiliki ekosistem yang mampu menyerap lebih dari 113 miliar ton CO?.

Baca juga: Gula-gula Pasar Karbon Dunia dan Pahitnya bagi Indonesia

Potensi di sektor energi terbarukan juga disebut mampu mereduksi emisi tahunan hingga 27,5 miliar ton CO? ekuivalen.

“Jika dikelola dengan baik, pasar karbon dapat membuka pendanaan iklim, meningkatkan ketahanan energi, dan menempatkan Indonesia sebagai pemimpin regional dalam tata kelola karbon,” kata Mutya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau