KOMPAS.com - Di pesisir Sorong, Papua Barat Daya, masyarakat adat Malaumkarta Raya memasuki babak baru dalam pengelolaan laut mereka.
Pada 16 Oktober 2025, melalui musyawarah di Kampung Malaumkarta, mereka mengesahkan Peraturan Adat tentang Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir, dokumen penting yang jadi jembatan antara kearifan lokal dan kebijakan pemerintah.
Pengesahan ini dihadiri para pemangku adat, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan mitra pembangunan.
Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, mengatakan, “Masyarakat adat memiliki hak atas wilayahnya, hak untuk menentukan arah pembangunan, serta hak untuk menikmati hasil kekayaan alam yang ada di atas dan di bawah tanah mereka."
Dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh George Yarangga, Staf Ahli Gubernur Bidang Ekonomi dan Pembangunan Provinsi Papua Barat Daya, Elisa menyatakan bahwa harmoni adat dan negara bisa menjadi kekuatan bersama.
“Melalui dokumen Peraturan Adat ini kita belajar bahwa adat dan hukum negara tidak harus bertentangan. Keduanya dapat berjalan beriringan saling melengkapi dalam mewujudkan keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan kesejahteraan bersama,” urainya.
Peraturan adat tersebut memperkuat pengakuan resmi dari Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 Tahun 2017, yang memberi wewenang kepada masyarakat Suku Moi untuk mengelola sekitar 4.000 hektare kawasan pesisir.
Baca juga: Walhi: Wacana PSN di Merauke Picu Konflik dan Tak Hormati Masyarakat Adat
Kini, legitimasi adat dan dasar hukum formal berpadu menjadi satu pijakan yang lebih kokoh.
Ketua Dewan Adat Suku Moi, Pendeta Paulus K. Safisa, menegaskan makna spiritual dari langkah ini.
“Pengakuan terhadap hukum adat bukan hanya bentuk penghormatan terhadap budaya masyarakat, tetapi juga kunci untuk menjaga sumber daya laut tetap lestari.”
Tradisi lokal seperti egek—penutupan sementara area tangkap untuk memulihkan stok ikan—kini diperkuat dengan zona-zona pengelolaan baru dan larangan praktik destruktif seperti bom atau potasium.
Menurut Awaludinnoer, Manajer Senior Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), tradisi ini adalah bukti bahwa sains dan adat bisa berpadu.
“Egek adalah tradisi yang menjaga laut tetap produktif. YKAN mendukung masyarakat dengan pendampingan monitoring wilayah egek agar waktu buka dan hasil panennya sesuai dengan prinsip keberlanjutan,” ungkapnya dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Kamis.
Bagi Ketua Unit Pengelola MHA Wooti Kook Malaumkarta Raya, Torianus Kalami, peraturan ini bukan tentang membatasi, tetapi menata.
“Peraturan adat ini memastikan pemanfaatan sumber daya laut dilakukan secara bijak sehingga tetap lestari dan dapat dinikmati generasi mendatang.”
Langkah Malaumkarta menunjukkan bahwa ketika pemerintah dan masyarakat saling menghormati dan bergerak bersama, pelestarian alam tidak hanya menjadi wacana, tetapi sebuah warisan hidup yang tumbuh dari laut untuk generasi berikutnya.
Baca juga: Masyarakat Adat Jadi Penopang Ekonomi, Revisi UU Mendesak Disahkan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya