Pertama, orang perlu percaya bahwa hukuman itu cukup serius untuk menakut-nakuti mereka. Kedua, hukuman itu tidak boleh terlalu ekstrem sehingga terasa tidak masuk akal.
Jika kedua kondisi terpenuhi, keyakinan itu benar-benar dapat menyebar. Dan ketika itu terjadi, rasa takut akan hukuman supernatural berfungsi seperti sistem pengawasan mandiri, tanpa polisi, tanpa kamera. Hanya kisah, ingatan, dan budaya.
Baca juga: Lama Dilindungi Mitos, Bajing Albino Sangihe Kini Butuh Proteksi Tambahan
Tim peneliti menemukan bahwa kisah-kisah tentang roh atau dewa yang melindungi alam seringkali menarik dan orang-orang membagikannya.
Kisah-kisah ini diwariskan. Dan ketika para pemimpin yang dihormati mempercayainya atau setidaknya membicarakannya, orang lain cenderung mengikutinya.
Hal ini dapat sangat berguna di tempat-tempat dengan penegakan hukum yang terbatas tetapi budaya tradisional masih kuat. Alih-alih mencoba mengganti tradisi tersebut dengan aturan eksternal, pemerintah dan organisasi dapat bekerja sama dengan mereka.
Studi tersebut pun pada akhirnya menunjukkan bahwa konservasi bukan hanya tentang uang, hukum, atau teknologi. Ini juga tentang budaya. Kepercayaan dan kisah dapat membentuk apa yang dilakukan orang dan apa yang tidak mereka lakukan.
“Studi ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat manusia dapat memiliki hubungan yang lebih harmonis dengan alam. Tidak hanya melalui regulasi atau teknologi, tetapi juga melalui kepercayaan dan budaya supernatural,” papar Dr. Shota Shibasaki, peneliti utama studi dari Universitas Doshisha di Jepang.
Studi dipublikasikan di jurnal Humanities and Social Sciences Communications.
Baca juga: Respons Putusan MK soal Izin Berkebun di Hutan, Kemenhut Siapkan SE Menteri
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya