Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

COP 30: Dagang Karbon Kuno dan Terbukti Gagal, Indonesia Perlu Strategi Baru

Kompas.com, 5 November 2025, 08:57 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Denny Gunawan*

KOMPAS.com - Menjelang Conference of the Parties ke-30 (COP 30) di Belém, Brasil, pada November 2025, Indonesia berencana menjadikan forum iklim tahunan ini sebagai ajang mencari pendanaan iklim. Salah satu strategi yang disiapkan adalah berjualan karbon.

Pemerintah akan membuka skema penjualan langsung atau sellers meet buyers untuk mempertemukan penjual kredit karbon dan pembeli kredit karbon di paviliun Indonesia. Langkah ini diklaim bukan sekadar instrumen lingkungan, tetapi juga motor transisi ekonomi.

Namun pertanyaannya, apakah strategi jualan karbon efektif untuk menurunkan emisi?

Kondisi pasar karbon Indonesia

Indonesia sudah memiliki Bursa Karbon (IDXCarbon) sejak 2023 untuk memperdagangkan kredit karbon secara domestik.

Baca juga: Mau Proyek Sampah Jadi Energi Sukses? Kuncinya Duit, Transparansi, dan Kebijakan Jelas

Namun, sejak dua tahun beroperasi, nilai transaksinya baru sekitar Rp77,85 miliar dengan sekitar 1,6 juta ton CO? ekuivalen yang diperdagangkan per Juli 2025.

Nilai dan volume transaksi ini masih terlalu kecil dibandingkan total emisi nasional yang mencapai lebih dari 1 miliar ton setara CO? per tahun.

Selain itu, mayoritas pasokan unit karbon yang diperdagangkan masih berasal dari pembangkit energi fosil seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Dalam konteks ini, sederhananya, industri yang belum bisa mengurangi emisi sesuai ambang batas kemudian membeli kredit karbon sebagai kompensasi atas kelebihan emisi tersebut.

Dengan demikian, unit karbon yang diperdagangkan dari pembangkit fosil adalah kredit karbon yang mewakili pengurangan emisi yang dibeli oleh pembangkit agar tetap sesuai dengan standar emisi yang berlaku.

Padahal, standar internasional lebih menekankan pentingnya kredit dari proyek-proyek karbon berintegritas tinggi (high integrity) seperti reforestasi, restorasi ekosistem, dan energi terbarukan yang secara nyata menekan emisi.

Kesimpulannya, kualitas pasokan kredit karbon Indonesia di bawah standar global dan hanya memperjuangkan proyek perusahaan ‘kuno’ yang masih memakai bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.

Lantas, bagaimana mungkin bursa karbon Indonesia menarik bagi pasar internasional?

Kegagalan sistemik pasar karbon

Pengalaman global juga menunjukkan, mekanisme pasar karbon rentan gagal karena beberapa hal berikut:

Rentan greenwashing

Pengalaman perdagangan karbon internasional seperti European Union Emissions Trading System (EU-ETS) dan Clean Development Mechanism (CDM) menunjukkan mekanisme pasar karbon sangat rentan terhadap praktik greenwashing—klaim palsu penggunaan label hijau padahal sebenarnya cuma topeng untuk praktik bisnis yang merusak lingkungan.

Ini terjadi ketika perusahaan menggunakan kredit karbon yang dibelinya untuk mengkompensasi penggunaan bahan bakar fosil terus-menerus.

Pada 2017, misalnya, Komisi Eropa melaporkan bahwa 85 persen dari proyek penebusan karbon atau carbon offsetting di bawah skema CDM gagal menurunkan emisi secara nyata akibat jeleknya kualitas kredit karbon yang diperjualbelikan.

Harga yang tidak stabil

Masalah lain adalah harga yang naik-turun. Di Indonesia harga karbon bahkan masih jauh di bawah nilai ideal yang dianjurkan.

Harga karbon yang murah membuat biaya yang harus ditanggung perusahaan atas emisi mereka menjadi kecil. Alhasil, mereka kurang termotivasi untuk berinvestasi dalam teknologi rendah karbon atau proyek energi bersih.

Untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 2°C, harga karbon seharusnya berada pada kisaran 63 - 127 miliar dollar AS (Rp1,1 - 2,1 juta) per ton setara CO?. Untuk target membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat C, harga yang dianjurkan bahkan lebih tinggi, yakni 226-385 miliar dollar AS (Rp3,8-6,4 juta) per ton CO? ekuivalen.

Pengawasan lemah

Lemahnya sistem pengawasan membuka peluang manipulasi. Uni Eropa misalnya, pernah diguncang skandal ketika sebuah perusahaan di Bulgaria memalsukan laporan emisi pada 2017-2023 dan menyebabkan kerugian hingga 75 juta Euro (Rp1,2 triliun).

Di Indonesia, risiko ini lebih besar karena kombo aturan pengawasan yang masih belum jelas, kapasitas pengawasan terbatas, dan transparansi rendah.

Mengingat berbagai catatan di atas, tak heran jika sejumlah lembaga keuangan global mulai menarik diri dari pasar karbon karena khawatir terhadap risiko reputasi dan finansial.

Pada 2024, HSBC bahkan membatalkan rencananya membuka meja perdagangan karbon lantaran kredibilitas pasar karbon global melemah.

Arah investasi energi dunia

Alih-alih bergantung pada perdagangan karbon, Indonesia perlu membaca tren investasi global.

Menurut International Energy Agency (IEA), total investasi energi dunia pada 2025 diperkirakan mencapai 3,3 triliun dollar AS (Rp54,9 kuadriliun), naik 2 persen dari 2024.

Lebih dari dua pertiga di antaranya, atau sekitar 2,2 triliun dollar AS (Rp36,6 kuadriliun) mengalir ke sektor rendah karbon, mulai dari energi terbarukan, nuklir, jaringan listrik, penyimpanan energi, bahan bakar hijau, efisiensi energi, hingga kendaraan listrik.

Baca juga: SIEW 2025: IEA Dorong Hilirisasi Mineral Kritis untuk Perkuat Ketahanan Energi

Kita bisa melihat contoh nyata Cina. Negara ini menggelontorkan 625 miliar dollar AS (Rp10,4 kuadriliun) untuk energi terbarukan pada 2024. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dibanding 2015.

Investasi besar-besaran ini membuat Cina diperkirakan mencapai puncak emisi pada 2025, lebih cepat dari perkiraan semula.

IEA juga memperkirakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan menjadi magnet utama dengan perkiraan investasi mencapai 450 miliar dollar AS (Rp7,5 kuadriliun) pada 2025 untuk PLTS atap.

Pembenahan yang lebih nyata, efisien, dan efektif

Belajar dari kegagalan pasar karbon dan tren investasi global, Indonesia sebaiknya menggeser fokus dari berjualan karbon ke strategi transisi energi yang lebih nyata, seperti berikut:

1. Perkuat perlindungan hutan

Alih-alih hanya menjual kredit karbon hutan, Indonesia perlu menegakkan perlindungan ketat terhadap hutan alam dan lahan gambut dengan menghentikan deforestasi.

2. Alihkan subsidi fosil

Subsidi energi fosil yang mencapai Rp169,5 triliun pada 2024, sebaiknya mulai dialihkan untuk mendukung energi surya, angin, dan panas bumi.

Dengan potensi energi terbarukan yang begitu besar, pengalihan subsidi untuk memberi insentif bagi proyek pembangkit energi bersih akan jauh lebih efektif menurunkan emisi.

3. Dorong efisiensi energi

Pemerintah dapat mewajibkan audit energi di sektor industri dan bangunan, sekaligus memberi insentif untuk investasi peralatan hemat energi, seperti sistem pendingin efisien dan teknologi pemulihan panas buangan.

Langkah ini bukan hanya menurunkan emisi, tapi juga memangkas biaya energi nasional dan mengurangi beban subsidi.

4. Percepat elektrifikasi transportasi

Elektrifikasi transportasi juga harus dipercepat. Pengalaman Norwegia menunjukkan bahwa insentif kendaraan listrik, penyediaan infrastruktur pengisian daya, dan integrasi transportasi publik berbasis listrik dapat menekan emisi secara signifikan.

Tentu saja dengan catatan, bahan baku di hulunya seperti nikel dan baja juga harus dipastikan bersih.

5. Bangun pendanaan inovatif

Indonesia juga bisa membangun mekanisme pendanaan inovatif seperti penerbitan green bond atau sovereign climate bond dengan standar transparansi internasional. Skema semacam ini akan menarik minat investor global menanamkan modal iklim di Indonesia.

* Research Associate, ARC Training Centre for the Global Hydrogen Economy, Particles and Catalysis Research Laboratory, UNSW Sydney

Baca juga: Atasi Batu Sandungan Emisi Sektor Energi, Pensiunkan PLTU Jadi Solusi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SMBC Indonesia Tanam 1.971 Pohon melalui Program BerDaya untuk Bumi di Garut
SMBC Indonesia Tanam 1.971 Pohon melalui Program BerDaya untuk Bumi di Garut
Swasta
Tempat Penyimpanan Karbon Dioksida Pertama di Dunia Bakal Beroperasi di Denmark
Tempat Penyimpanan Karbon Dioksida Pertama di Dunia Bakal Beroperasi di Denmark
Swasta
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
LSM/Figur
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
LSM/Figur
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
LSM/Figur
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Pemerintah
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
Pemerintah
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
LSM/Figur
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau