KOMPAS.com - Kualitas lingkungan tempat tinggal sebagian besar (99 persen) penduduk dunia sudah sangat menurun hingga tingkat di mana hak dasar mereka untuk lingkungan yang sehat terancam.
Dalam analisis ketidaksetaraan dalam kondisi lingkungan yang paling komprehensif hingga saat ini, peneliti University of Colorado at Boulder (CU Boulder) mengungkapkan bahwa hampir separuh populasi global tinggal di wilayah yang menghadapi tiga atau lebih masalah lingkungan.
Masalah-masalah tersebut meliputi udara yang tercemar, air yang tidak aman, panas ekstrem, kerawanan pangan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Analisis ini dipublikasikan pada 25 September di Environmental Research Communications.
"Selama bertahun-tahun, masyarakat di seluruh dunia telah memperjuangkan keadilan lingkungan lokal," kata penulis pertama Naia Ormaza-Zulueta, seorang mahasiswa doktoral di Departemen Studi Lingkungan.
Melansir Phys, Senin (10/11/2025) pada tahun 2022, PBB secara resmi mengakui bahwa setiap orang di Bumi berhak atas lingkungan yang sehat.
Baca juga: Polusi Udara dari Bahan Bakar Fosil Sebabkan 2,52 Juta Kematian
Resolusi penting ini, meskipun mendesak negara-negara untuk mengambil tindakan guna melindungi hak tersebut bagi rakyatnya, tidak mengikat secara hukum.
Itu mungkin sebabnya, resolusi tersebut juga gagal memperhitungkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas di negara lain.
Penelitian telah menunjukkan bahwa negara-negara industri besar, seperti Amerika Serikat, menghasilkan emisi gas rumah kaca terbanyak, tetapi negara-negara berpenghasilan rendah mengalami dampak terbesar.
Dalam studi ini, peneliti menghitung berapa banyak orang yang hak lingkungannya terancam.
Mereka mengumpulkan kumpulan data besar tentang masalah lingkungan untuk menghitung apakah seseorang di lokasi tertentu di seluruh dunia sedang mengalami, atau baru-baru ini mengalami, kondisi yang melanggar hak-hak mereka.
Hak yang ditetapkan oleh PBB itu antara lain udara bersih, air bersih, iklim yang aman, pangan yang sehat dan berkelanjutan, serta keanekaragaman hayati dan ekosistem yang berkembang.
Tim menemukan bahwa hampir semua orang di Bumi tinggal di tempat-tempat yang baru-baru ini mengalami setidaknya satu risiko lingkungan yang gagal memenuhi persyaratan PBB.
Lebih dari 45 persen, atau 3,4 miliar orang, memiliki setidaknya tiga hak yang terancam, dan 1,25 persen, atau 95 juta, mengalami kelima kondisi tersebut.
Akses terhadap udara bersih merupakan ancaman paling umum, diikuti oleh akses terhadap pangan yang sehat dan berkelanjutan.
Lebih lanjut, meski sebagian besar orang berisiko mengalami lingkungan yang buruk, tidak semua orang merasakan dampak yang sama.
Mereka yang berpenghasilan rendah, terlantar dan tinggal di tanah adat, jauh lebih mungkin mengalami kualitas udara yang buruk, akses terbatas ke air bersih, dan suhu panas yang berlebihan dibandingkan populasi lainnya.
Baca juga: Masyarakat Adat Jaga Ekosistem, tapi Hanya Terima 2,9 Persen Pendanaan Iklim
Sementara, mereka yang tinggal di daerah lebih makmur biasanya punya kondisi lingkungan terbaik dan lebih mungkin terhindar dari dampak buruk seiring berlanjutnya perubahan iklim.
Di tingkat internasional, beberapa titik rawan dampak lingkungan menonjol dalam studi ini misalnya saja Asia selatan. Wilayah tersebut menampung 41 persen dari seluruh penduduk yang hidup dengan kelima ancaman terhadap hak-hak lingkungan, meskipun hanya mencakup seperlima dari populasi dunia.
Studi juga menemukan sebagian besar kondisi lingkungan yang buruk di seluruh dunia diakibatkan oleh aktivitas negara kaya.
Emisi dari 27 negara di Uni Eropa telah meningkatkan kemungkinan terjadinya peristiwa cuaca ekstrem 1,8 kali lipat di Afrika Tenggara dan hutan hujan Amazon.
"Di mana pun kita tinggal, hak-hak kita secara inheren terkait dengan hak-hak orang di belahan dunia lain," kata Ormaza-Zulueta.
Namun Zia Mehrabi, seorang ilmuwan data di Departemen Studi Lingkungan dan pendiri Better Planet Lab mengungkapkan ada banyak solusi untuk masalah lingkungan yang dihadapi sekarang.
Menurutnya, dunia perlu kebijakan kuat untuk mengadopsi solusi energi bersih yang bertanggung jawab hingga rantai pasokan yang lebih berkeadilan dan adil.
Mehrabi merujuk pada undang-undang uji tuntas di negara-negara seperti Belanda, Prancis, dan Jerman, yang mewajibkan perusahaan domestik untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia di seluruh operasi global mereka. Ia mengatakan negara-negara lain perlu mengikuti langkah tersebut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya