Peningkatan suhu dapat berdampak signifikan pada pekerja. Menurut World Meteorological Organisation (WMO), produktivitas pekerja menurun dua hingga tiga persen setiap derajat di atas 20 derajat celsius.
Laporan itu memperingatkan, untuk mempertahankan kerja delapan jam, suhu tubuh, yang biasanya berada di antara 36,5 derajat celsius dan 37,5 derajat celsius, tidak boleh melebihi 38 derajat celsius.
“Potensi gangguan produktivitas memengaruhi jutaan orang di sektor-sektor yang rentan terhadap panas seperti pertanian dan konstruksi, tapi juga melemahkan produksi dan perdagangan primer, sekaligus menciptakan efek limpahan yang signifikan terhadap perekonomian,” tambah WMO.
Para peneliti memperingatkan, penurunan pasokan tenaga kerja dan produktivitas ini diproyeksikan akan memburuk pada masa mendatang di sebagian besar belahan dunia.
Akan tetapi, peneliti memperingatkan, hal itu akan berdampak secara tidak proposional pada negara-negara berpenghasilan rendah, yang mana dampaknya terhadap ketenagakerjaan diproyeksikan tinggi.
Selain berdampak pada kesehatan fisik, krisis iklim juga memengaruhi kesehatan mental para pekerja.
Sebuah studi tahun 2022 yang diterbitkan dalam Occupational Medicine menunjukkan, dampak psikologis dari peristiwa ekstrem dapat menyebabkan peningkatan ketegangan kerja, niat untuk berpindah kerja yang lebih tinggi, dan permusuhan di tempat kerja.
“Stres akibat cuaca ekstrem juga dapat menghambat kemampuan untuk membuat keputusan penting terkait pekerjaan, dan bagi mereka yang bekerja di sektor lingkungan, kekhawatiran tentang iklim dapat menyebabkan komitmen yang berlebihan terhadap pekerjaan,” demikian menurut studi tersebut.
Studi ini menyimpulkan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi bagaimana staf dapat didukung dan menumbuhkan ketahanan di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya