KOMPAS.com - Panas ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim bisa jadi ancaman kesehatan kerja global yang serius. Diperkirakan satu miliar pekerja terpapar panas ekstrem di tempat kerja, yang mengakibatkan kerugian kesehatan cukup besar.
Petugas kebersihan berusia 51 tahun bernama Montse Aguilar pingsan di jalanan Barcelona, Spanyol, pada Juni lalu setelah menjalani shift kerja di tengah suhu panas 35 derajat celsius. Sementara itu, kota tersebut berada dalam status siaga tinggi.
Baca juga:
Aguilar tak bisa diselamatkan. Kematiannya pun memicu protes dari ratusan rekan petugas kebersihan jalan dan warga yang peduli di pusat kota Barcelona.
Mereka membawa spanduk bertuliskan: "Panas ekstrem juga merupakan kekerasan di tempat kerja".
Panas ekstrem akibat perubahan iklim meningkatkan risiko kesehatan fisik dan mental pekerja. Diperlukan aturan baru untuk melindungi pekerja.Laporan baru dari International SOS mengidentifikasi panas ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim sebagai salah satu risiko utama yang mengancam tempat kerja.
Laporan tersebut mengutip studi terbaru dari Lancet Countdown, yang menemukan bahwa hampir separuh populasi global dan lebih dari satu miliar pekerja terpapar episode panas tinggi.
Sepertiga dari seluruh pekerja yang terpapar mengalami dampak negatif terhadap kesehatan.
Laporan tersebut berpendapat, mengukur suhu lingkungan tanpa memperhitungkan faktor-faktor, seperti angin dan kelembapan, yang dapat membuat suhu terasa jauh lebih panas daripada yang sebenarnya tidak lagi menjadi cara yang memadai untuk menilai risiko yang ditimbulkan bagi tenaga kerja.
Itulah mengapa, laporan kemudian menyebut bahwa perlu lebih banyak peraturan yang ditetapkan di masa mendatang.
"Pengusaha harus berhenti hanya mengandalkan suhu udara saat menilai risiko panas di tempat kerja. Perlu penggunaan metode pengukuran yang lebih akurat untuk menentukan kapan tindakan pencegahan harus diambil guna melindungi pekerja dari panas yang berbahaya," tulis laporan itu, dilansir dari Euronews, Jumat (5/12/2025).
“Perusahaan harus memiliki kebijakan terkait panas ekstrem dan tindakan terkait yang mematuhi peraturan yang terus berkembang ini,” tambah laporan tersebut.
Di sisi lain, adaptasi di tempat kerja dapat menimbulkan serangkaian tantangan keselamatan.
Misalnya, bekerja pada malam hari dengan lampu sorot, misalnya untuk industri pertanian, dapat membantu pekerja menghindari panas ekstrem tetapi visibilitas yang lebih rendah dan silau dari lampu dapat menjadi berbahaya.
Baca juga:
Panas ekstrem akibat perubahan iklim meningkatkan risiko kesehatan fisik dan mental pekerja. Diperlukan aturan baru untuk melindungi pekerja.Peningkatan suhu dapat berdampak signifikan pada pekerja. Menurut World Meteorological Organisation (WMO), produktivitas pekerja menurun dua hingga tiga persen setiap derajat di atas 20 derajat celsius.
Laporan itu memperingatkan, untuk mempertahankan kerja delapan jam, suhu tubuh, yang biasanya berada di antara 36,5 derajat celsius dan 37,5 derajat celsius, tidak boleh melebihi 38 derajat celsius.
“Potensi gangguan produktivitas memengaruhi jutaan orang di sektor-sektor yang rentan terhadap panas seperti pertanian dan konstruksi, tapi juga melemahkan produksi dan perdagangan primer, sekaligus menciptakan efek limpahan yang signifikan terhadap perekonomian,” tambah WMO.
Para peneliti memperingatkan, penurunan pasokan tenaga kerja dan produktivitas ini diproyeksikan akan memburuk pada masa mendatang di sebagian besar belahan dunia.
Akan tetapi, peneliti memperingatkan, hal itu akan berdampak secara tidak proposional pada negara-negara berpenghasilan rendah, yang mana dampaknya terhadap ketenagakerjaan diproyeksikan tinggi.
Selain berdampak pada kesehatan fisik, krisis iklim juga memengaruhi kesehatan mental para pekerja.
Sebuah studi tahun 2022 yang diterbitkan dalam Occupational Medicine menunjukkan, dampak psikologis dari peristiwa ekstrem dapat menyebabkan peningkatan ketegangan kerja, niat untuk berpindah kerja yang lebih tinggi, dan permusuhan di tempat kerja.
“Stres akibat cuaca ekstrem juga dapat menghambat kemampuan untuk membuat keputusan penting terkait pekerjaan, dan bagi mereka yang bekerja di sektor lingkungan, kekhawatiran tentang iklim dapat menyebabkan komitmen yang berlebihan terhadap pekerjaan,” demikian menurut studi tersebut.
Studi ini menyimpulkan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi bagaimana staf dapat didukung dan menumbuhkan ketahanan di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya