Para petani sebenarnya dapat meningkatkan produktivitas perkebunan tebu, singkong, atau sorgum mereka untuk berkontribusi terhadap ketersediaan bahan baku etanol.
Intervensi pemerintah dibutuhkan untuk menggenjot produktivitas pertanian rakyat ini. Apalagi, proyek biofuel lebih ramah terhadap petani daripada biosolar.
"Kalau ngomong biofuel itu sebetulnya menurut saya jauh lebih bermanfaat daripada biosolar karena pemainnya itu bisa datang dari petani (yang) lahannya bisa kecil. Sebetulnya biosolar itu sangat baik, sayangnya pemainnya banyak yang besar-besar," ujar Direktur Utama Medco Papua dan Komisaris Utama Medco Ethanol Lampung, Budi Basuki.
Menurut dia, industri biofuel, terutama bioetanol, bisa didesain untuk memposisikan pemain besar dan pemain kecil lebih adil.
Baca juga:
"Kalau memang pemerintah itu bisa membantu menyediakan lahan kepada petani kecil, dijadikan (model) plasma dan inti, saya rasa feedstock (bahan baku) ini bisa turun (harganya) karena memang harus diakui produktivitas yang dilakukan oleh plasma itu masih lebih rendah, tapi kalau diblending dengan lahan yang disediakan pemerintah itu sebenarnya harganya masih lebih baik," jelas Budi.
Menurut Budi, sebenarnya tidak ada persaingan kepentingan antara pangan dan energi dalam hal ini untuk bioetanol, dalam pengelolaan tebu, singkong, dan sorgum.
Berkaca dari pengalaman sawit, Crude Palm Oil (CPO) bisa dipakai untuk kepentingan pangan maupun energi. Bahkan, produksinya justru naik dan harga CPO lebih terjadi.
"Di Amerika juga seperti itu, ketika produksi etanol itu, jagung dipakai etanol, pemakaian lahannya bukan naik, tapi malah turun. Jadi kekhawatiran ada ekspansi (perluasan lahan atau ekstensifikasi) itu enggak terjadi," ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya