Di sisi lain, akar kerentanan perempuan sering terletak pada struktur sosial. Norma yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus mengalah, keterbatasan pendidikan, dan kecenderungan terlalu percaya kepada orang lain membuat mereka sulit mengenali risiko.
Bagi Dinar, pemberdayaan bukan hanya soal mengajarkan keterampilan, melainkan juga membentuk daya kritis.
“Perempuan harus diberi ruang untuk belajar dan berpendapat. Ketika berdaya, mereka lebih siap menghadapi situasi krisis apa pun,” ucap dia.
Di tengah banjir Sumatera dan peringatan 16 HAKTP 2025, Dinar mengajak seluruh pihak untuk melihat kembali makna ruang aman. Ia menegaskan bahwa penguatan sistem tidak cukup jika perempuan tidak diberi ruang untuk berkembang.
“Perempuan harus belajar untuk berdaya. Untuk itu, mereka butuh ruang. Ruang untuk tumbuh, untuk belajar, untuk bersuara,” ujarnya.
Menurut Dinar, peringatan 16 HAKTP seyogianya dapat menjadi refleksi bahwa perlindungan perempuan dalam bencana bukan hanya urusan lembaga tertentu, melainkan tanggung jawab kolektif.
“Bencana banjir Sumatera menunjukkan betapa mudahnya ruang aman itu hilang ketika sistem tidak siap. Karena itu, setiap orang memiliki peran untuk mengembalikannya dengan memastikan perempuan terlihat, terdengar, dan terlindungi, baik di situasi darurat maupun setelahnya,” tegas dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya