Pengalaman di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa isolasi dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan. Setelah gempa dan likuefaksi, banyak perempuan harus bertahan di tenda pengungsian tanpa penerangan memadai, tanpa sekat, dan tanpa ruang aman.
Pada masa itu, layanan kesehatan reproduksi baru bisa dihadirkan setelah 45 tenda kespro dan hampir 20 ruang ramah perempuan didirikan.
“Sebelum itu berdiri, banyak perempuan berada dalam situasi penuh ketidakpastian,” kenangnya.
Situasi Sumatera hari ini, menurut Dinar, menunjukkan potensi risiko serupa. Pengungsian padat, akses informasi terbatas, dan mekanisme pelaporan belum berjalan optimal.
Pelaku kekerasan pun sulit diidentifikasi, terlebih karena mereka sering kali bukan orang asing, melainkan individu yang memanfaatkan situasi rentan.
“Ini ancaman sunyi. Tidak terlihat, tetapi selalu hadir,” ujarnya.
Menurut Dinar, regulasi sebenarnya sudah cukup kuat, khususnya dalam Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Penanggulangan Bencana.
Beleid itu mewajibkan adanya standar minimal pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender (PPKPG) dalam respons bencana, mulai dari layanan 24 jam hingga keberadaan ruang ramah perempuan.
Namun, tak dapat dimungkiri, implementasi di lapangan kerap “jauh panggang dari api”. Untuk itu, di tengah keterbatasan layanan formal, perempuan sering mengandalkan solidaritas sesama.
Baca juga: UN Women Peringatkan, Kekerasan Digital Berbasis AI Ancam Perempuan
Di beberapa pengungsian, Dinar mencontohkan, perempuan membentuk kelompok kecil untuk saling menjaga dan mengawasi pergerakan anak-anak. Strategi informal ini terbukti efektif meskipun tidak cukup untuk menggantikan mekanisme perlindungan yang ideal.
“Perempuan itu punya ketangguhan,” tegas dosen Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, itu.
Dinar menuturkan, perlindungan perempuan dalam bencana tak boleh dimulai ketika krisis telah terjadi. Kesiapsiagaan prabencana harus memasukkan perlindungan perempuan sebagai pilar utama, termasuk jalur pelaporan, rute evakuasi, dan mekanisme logistik alternatif.
“Kesiapsiagaan terhadap bencana bukan hanya (cara) punya tenda dan logistik, melainkan juga memastikan ada sistem untuk menjaga perempuan tetap aman,” ujarnya.
Dinas kesehatan di setiap daerah sebenarnya memiliki Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk kondisi darurat, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual. Namun, tanpa sosialisasi masif, informasi ini tidak banyak diketahui masyarakat. Padahal, nomor layanan, tautan pelaporan, dan kontak bantuan psikososial dapat menyelamatkan nyawa.
“Sering sekali perempuan tidak sadar bahwa apa yang mereka alami adalah kekerasan. Mereka juga tidak tahu harus melapor ke mana,” kata Dinar.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya