KOMPAS.com - Indonesia disebut hadapi ancaman bonus demografi justru saat industrialisasi tumbuh karena generasi mudanya tertinggal. Proporsi anak muda tidak bekerja, tidak sekolah, dan tidak mengikuti pelatihan di Indonesia di atas 20 persen dari total populasi.
Sebagai perbandingan, proporsi anak muda tidak bekerja, tidak sekolah, dan tidak mengikuti pelatihan di Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam di bawah 15 persen dari total populasi.
Baca juga:
Proporsi anak muda tidak bekerja, tidak sekolah, dan tidak mengikuti pelatihan di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangganya mencerminkan lemahnya sistem transisi dari pendidikan ke dunia kerja.
"Ini sebenarnya menjadi sebuah kekhawatiran. Artinya, kita tidak lagi, tidak sedang menikmati bonus demografi, tetapi justru yang selama ini kita sering sampaikan gitu, dan selain menjadi bercandaan gitu ya, bahwa kita jadi bencana demografi, dan khawatir kita adalah yang kita sedang rasakan sekarang, sebenarnya bukan lagi bercandaan gitu ya, bercanda demografi, justru ini sudah semakin real (nyata)," jelas Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, Imaduddin Abdullah, Senin (29/12/2025).
Indonesia disebut hadapi ancaman bonus demografi justru saat industrialisasi tumbuh karena generasi mudanya tertinggal. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia disebut belum terhubung dengan jalur kerja generasi muda. Meski pertumbuhan ekonomi tumbuh, upgrading dan mekanisme penyerapan tenaga kerja muda masih menjadi masalah utama.
Minimnya pelatihan berbasis industri, skill upgrading (peningkatan keterampilan), serta koneksi antara kebutuhan industri dengan kapasitas tenaga kerja muda menjadi tantangan struktural di Indonesia.
Padahal, semestinya anak muda menjadi penggerak ekonomi. Namun, kenyataannya anak muda seolah tidak terlibat dalam upaya menggerakan perekonomian nasional.
Imaduddin menilai, ancaman bonus demografi perlu menjadi catatan perbaikan bagi pemerintah Indonesia ke depannya.
Baca juga:
Indonesia disebut hadapi ancaman bonus demografi justru saat industrialisasi tumbuh karena generasi mudanya tertinggal. Di sisi lain, produktivitas industri Indonesia disebut tertinggal dari negara-negara tetangga.
Nilai tambah per pekerja yang lebih rendah daripada negara-negara tetangga menunjukkan keterbatasan efisiensi dan kapabilitas produksi industri nasional.
"Kita disusul oleh China ya, yang tahun 1998 di bawah kita dalam hal produktivitas sektor industrinya, tetapi di tahun 2023, mereka hampir dua kali lipat dari kita dalam hal produktivitas sektor industri," tutur Imaduddin.
Industrialisasi di Indonesia belum diirngi dengan pendalaman teknologi dan keterampilan. Kesenjangan produktivitas mencerminkan lemahnya adopsi teknologi, rendahnya aktivitas inovasi, serta keterbatasan peningkatan keterampilan tenaga kerja industri.
Produktivitas yang tertahan, kata dia, membatasi kenaikan upah dan daya saing. Ruang bagi peningkatan upah rill pekerja dan penguatan daya saing industri di Indonesia akan tetap sempit jika produktivitas tidak meningkat secara signifikan.
Jika kualitas produktivitas sektor industri tidak dibenahi, daya saing Indonesia akan semakin tertinggal di level global.
"Kita mungkin dulu bersaing dengan China, Malaysia, Filipina, Thailand misalnya ya, tetapi mungkin ke depan kita akan bersaing dengan negara-negara seperti Bangladesh, Pakistan, Ethiopia, dan sebagainya, yang mana mereka menawarkan biaya tenaga kerja yang jauh lebih murah dibandingkan kita," jelas dia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya