Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

kolom

Bukan "Greenflation", tapi "Climateflation" dan "Fossilflation" Lebih Mendesak Ditangani

Kompas.com - 24/01/2024, 10:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA, termasuk Indonesia, kini berada pada titik kritis iklim. Namun, Indonesia khususnya, saat ini tidak berada dalam titik kritis “greenflation” atau inflasi hijau seperti yang disebut oleh Gibran Rakabuming Raka pada debat cawapres lalu.

Ada jenis inflasi energi lainnya yang lebih mendesak untuk kita antisipasi dalam jangka pendek untuk mencegah melonjaknya inflasi hijau di masa depan.

Kita tentu masih ingat saat awal perang Ukraina-Rusia meletus, lonjakan harga komoditas-komoditas penting global memicu inflasi energi yang cukup signifikan, sehingga banyak negara merombak kebijakan energi mereka.

Ketergantungan kita pada bahan bakar fosil tidak hanya merupakan ancaman iklim, tetapi juga kerentanan terhadap ketidakstabilan geopolitik.

Mempercepat transisi ke energi terbarukan adalah hal mutlak untuk saat ini dan ke depan. Kita perlu mempercepat transisi energi saat ini karena sumber energi terbarukan kini seringkali lebih murah dibandingkan bahan bakar fosil.

Kemajuan teknologi berpotensi membuat biaya fotovoltaik lebih rendah pada 2040, sehingga mampu bersaing dengan pembangkit listrik bahan bakar fosil.

Ketika energi terbarukan memenuhi sebagian besar permintaan energi, rumah tangga akan memperoleh manfaat dari harga listrik yang lebih rendah.

Saat kita mulai gencar membangun masa depan berkelanjutan, saat itulah kita menghadapi era baru inflasi energi dengan tiga guncangan sekaligus.

Pertama, climateflation (neologisme dari kata climate/iklim, dan inflation/inflasi), yang merupakan meningkatnya biaya karena dampak perubahan iklim itu sendiri.

El Nino, cuaca ekstrem seperti kekeringan cukup mengganggu aktivitas ekonomi dan jelas berkontribusi menaikkan harga pangan, sehingga memberikan dampak yang tidak proporsional kepada kelompok paling rentan.

Kedua, fossilflation (neologisme dari kata fossil/bahan bakar fosil, dan inflation/inflasi), yang merupakan penyebab di balik lonjakan inflasi bahan bakar fosil di seluruh dunia, termasuk peristiwa rompi kuning di Perancis yang disebutkan Gibran di debat cawapres lalu.

Sekadar meluruskan, sebenarnya peristiwa tersebut bukan fenomena greenflation, tetapi masih masuk dalam katagori fossilflation.

Kebijakan Presiden Emmanuel Macron yang kala itu ingin menaikkan pajak bahan bakar, di mana ada kenaikan 5 sen per galon untuk bensin di 2020 dan 2 sen untuk solar, bukan ingin menaikkan harga logam seperti nikel atau litium.

Inilah ironisnya yang perlu sama-sama kita pahami bahwa perjuangan melawan perubahan iklim membuat bahan bakar fosil menjadi lebih mahal, sehingga menimbulkan dampak lingkungan yang sebenarnya.

Ketiga, greenflation (neologisme dari kata green/hijau, dan inflation/inflasi). Inilah yang sedang diperdebatkan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com