JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong mendorong implementasi akses dan pembagian manfaat (access and benefit sharing) bagi Indonesia sebagai negara penyedia keanekaragaman hayati, sebagai bentuk implementasi Protokol Nagoya.
"Selalu saya tekankan banyak satwa-satwa ikonik kita berada di kebun binatang dan lain-lain di luar negeri. Mereka menjadi atraksi, mereka menciptakan pendapatan bagi kebun binatang dan negara di mana satwa kita berada," ujar Alue saat membuka Pekan Keanekaragaman Hayati 2024 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Lebih lanjut, kata Alue, meski sudah ada Protokol Nagoya mengenai akses dan pembagian manfaat yang merata kepada negara asal keanekaragaman hayati tersebut, masih belum ada implementasi yang sesuai.
Baca juga: Deretan Prestasi Indonesia Cegah Kepunahan Satwa Langka
Padahal, ia menyebut seharusnya Indonesia maupun negara-negara lain yang satwa endemiknya berada di kebun binatang lain, bisa mendapatkan manfaat dari hal tersebut jika bersifat komersial.
Gunanya untuk mendukung upaya konservasi di negara-negara sumber hewan tersebut.
"Harusnya kita berhak menerima akses dan benefit sharing dari zoo (kebun binatang) itu, kalau sifatnya sudah komersial. Ini yang kita dorong ke depan," imbuhnya.
Sebagai informasi, Protokol Nagoya tentang Akses dan Pembagian Keuntungan access and benefit sharing (ABS) adalah perjanjian tambahan pada 2010, yang mulai berlaku pada 2014.
Protokol Nagoya ini merupakan perjanjian tambahan dari Konvensi Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD) pada 1992, yang salah satu tujuannya adalah pembagian manfaat yang adil dan merata dari pemanfaatan sumber daya genetik.
Menurut Alue, ada keuntungan besar hingga ratusan miliar yang diperoleh sejumlah kebun binatang di negara-negara lain. Kendati demikian, ia menyebut tidak ada manfaat yang dibagikan kepada Indonesia sebagai negara asal satwa endemik tersebut.
"Padahal komitmen Nagoya Protocol harusnya di mana asal usul genetik itu berasal bisa menerima akses dan benefit sharing," ujarnya.
Baca juga: Setelah 6 Tahun Dipenjara, Aktivis Konservasi Satwa Dibebaskan
"Ini masa depan kita yang harus kita cek, jadi jangan negara lain menikmati itu dengan enak, kita berjuang habis-habisan mencari anggaran untuk konservasi in situ kita," tambah Ale.
Contohnya, Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) yang mengelola kawasan konservasi seluas hampir 27 juta hektare dan memerlukan anggaran yang besar untuk pengelolaannya.
"Memang sepertinya cost center, tetapi yang dijaga KSDEA ini menyediakan ekosistem biodiversitas servis yang dinikmati oleh semua sektor," pungkas Alue.
Adapun sepanjang 2023, KLHK telah melakukan berbagai upaya penyelamatan satwa liar. Dengan total sebanyak 2.490 aksi, termasuk beberapa pemulangan atau repatriasi satwa endemik Indonesia yang berada di luar negeri.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya