Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/03/2023, 06:00 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

Namun menurut Iwan, saat ini ada temuan menarik terkait potensi pemanfaatan limbah FABA yakni ditemukannya kandungan REE atau unsur tanah jarang (rare earth) pada kedua jenis limbah batu bara tersebut.

"Sekarang itu yang lebih menariknya untuk ini REE, atau unsur tanah jarang. Jadi pada abu itu, menurut para peneliti kandungan REE-nya 10 kali lebih kaya dari REE pada batu bara-nya," katanya lagi.

Temuan soal kandungan REE yang kaya pada FABA itu, membuat kedua jenis limbah batu bara tersebut menjadi menarik untuk diolah kembali, namun tidak hanya sekadar untuk membuat batako.

"REE atau unsur tanah jarang itu adalah unsur strategis yang sekarang itu sedang viral-lah ya. Jadi itu (REE) yang dibicarakan oleh Pak Luhut Binsar Pandjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi) sama pak Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan), untuk kepentingan material industri pertahanan," kata dia.

Unsur tanah jarang itu dapat digunakan sebagai bahan untuk banyak industri maju, termasuk untuk smartphone dan teknologi pertahanan, seperti radar, persenjataan, laser, dan pesawat anti-radar.

Meski demikian, Iwan tidak menampik, limbah FABA memang memiliki potensi negatif memengaruhi kualitas lingkungan hidup dan masyarakat.

"Saya tidak tahu persis kalau dampaknya ke lingkungan. Ya ada, tapi bisa di-treatment. Cuma kalau treatment-nya seperti apa saya kurang tahu," kata Iwan.

Sehubungan dengan pengeluaran FABA dari daftar limbah B3, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, kebijakan tersebut merupakan bentuk kejahatan sistematis terhadap masyarakat pesisir.

Koordinator JATAM Merah Johansyah mengatakan, FABA memiliki potensi mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir.

"Limbah ini kalau tercemar ke air membuat biota ikan mati, itu terjadi baik di masyarakat yang hidup di pesisir sungai dan laut. Padahal 82 persen perusahaan batu bara di Indonesia letaknya di wilayah pesisir. Jadi ini kejahatan sistematis pemerintah pada masyarakat pesisir," kata Merah, seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (12/3/2021).

Menurut Merah, pemerintah hanya menghitung potensi investasi yang didapat dari pengeluaran FABA dari daftar limbah B3, namun mengabaikan ancaman kerusakan lingkungan yang dapat terjadi sebagai implikasi dari penerbitan aturan tersebut.

Padahal masyarakat di sekitar PLTU batu bara itu menghadapi kematian dini. Mereka paru-parunya hitam, dan juga terkena kanker," ujar Merah.

Saat ini pengawasan hukum pada pengelolaan limbah FABA masih bermasalah. Apalagi, kata dia, jika dua jenis limbah batu bara tersebut dikeluarkan dari kategori limbah B3.

"Penegakan hukumnya akan keropos, pengawasan lemah, akan membuat perusahaan batu bara makin ugal-ugalan. Jadi peraturan pemerintah ini tidak tepat dikatakan untuk perlindungan lingkungan hidup," kata Merah.

 

Penulis: Jawahir Gustav Rizal | Editor: Sari Hardiyanto

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com