JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah daerah diminta untuk tidak sekadar menangani potensi kekeringan selama musim kemarai dengan cara mendistribusikan air bersih atau dropping.
Peneliti Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) Universitas Gadjah Mada (UGM) Djati Mardiatno mengatakan, distribusi air bersih sifatnya hanyalah respons.
Dia menilai, banyaknya distribusi air bersih menunjukkan bahwa manajemen risiko kekeringan di suatu daerah masih perlu diperbaiki.
Baca juga: Layanan Mudik 2023, Sarana Air Bersih dan Sanitasi Tersedia di 46 Titik Seluruh Indonesia
“Distribusi air bersih kan sifatnya hanya respons ya. Keberhasilan penanganan bencana kekeringan justru ditandai berkurangnya dropping yang dilakukan,” kata Djati, sebagaimana dilansir Antara, Minggu (30/4/2023).
Di sisi lain, minimnya distribusi air bersih ke daerah yang dilanda kekeringan menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan warga setempat mampu memitigasi dan mengantisipasi sebelum kekeringan terjadi.
Djati mencontohkan, beberapa wilayah di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi langganan kekeringan saat musim kemarau.
Semestinya di sana sudah terbangun sarana sumur bor serta pipanisasi secara memadai hingga menjangkau seluruh permukiman warga.
Baca juga: Penumpang Bisa Membeli Souvenir UMKM Saat Memesan Tiket Pelita Air
Selain itu, warga setempat juga dipastikan telah memiliki budaya memanen air hujan dengan cara menyiapkan tandon air secara mandiri.
Di sisi lain, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meramalkan bahwa musim kemarau tahun ini diprediksi lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Mengantisipasi ramalan dari BMKG, Djati berujar bahwa dengan kesiapan, pemerintah daerah dan warga bisa dengan tenang menghadapi kemungkinan terjadi kekeringan.
“Sebetulnya kita kan sudah beberapa kali menghadapi fenomena El-Nino. Belajar dari pengalaman semestinya sudah tidak kaget lagi,” ujar Djati.
Baca juga: Mengenal 4 Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik
Jika kampanye memanen air hujan baru digalakkan sekarang, menurut Djati cukup terlambat meski masih memungkinkan dilakukan.
“Semestinya itu dilakukan saat awal musim hujan kemarin. Sekarang antisipasinya adalah menghemat air. Gunakan air secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari,” ucap Djati.
Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta memprediksi awal musim kemarau 2023 di DIY terjadi pada April dasarian II yang meliputi sebagian kecil Kabupaten Sleman bagian barat, sebagian kecil Kabupaten Bantul bagian barat, dan Kabupaten Kulon Progo bagian timur.
Berikutnya, April dasarian III meliputi Kabupaten Kulon Progo bagian barat dan selatan, disusul Mei dasarian I meliputi Kabupaten Kulon Progo bagian utara, sebagian besar Kabupaten Sleman serta sebagian besar Kabupaten Bantul dan Gunungkidul.
Baca juga: Basuki Bersama Delegasi Konferensi Air PBB Rilis Platform Inisiatif Transisi Hijau
Puncak musim kemarau 2023 di DIY diperkirakan berlangsung antara Juli hingga Agustus 2023.
Sejumlah daerah di DIY yang setiap tahun berpotensi bencana kekeringan saat musim kemarau contohnya Kecamatan Rongkop dan Tepus, Kabupaten Gunungkidul; Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul; Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo; dan Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman.
Manajer Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD DIY Lilik Andi Aryanto mengatakan, pihaknya bersama Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY segera melakukan pendataan sumber air bersih yang ada di masing-masing kabupaten.
Kesiapan ketersediaan sumur bor, pipanisasi, hingga kesiapan pasokan air bersih, menurut dia, bakal dibahas secara khusus dalam Rapat Koordinasi BPBD bersama Dinas PUP-ESDM, serta Dinas Sosial DIY pada Mei 2023.
Baca juga: Tantangan Segudang Wujudkan 100 Persen Akses Air Minum dan Sanitasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya