Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/06/2023, 11:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Adanya berbagai moda transportasi membuat mobilitas manusia semakin mudah dan cepat.

Dari pesawat di udara, kapal di laut, hingga mobil atau bus di darat bisa mengangkut orang-orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Di sisi lain, sektor transportasi membutuhkan energi yaitu bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini berkontribusi besar terhadap pemanasan global.

Baca juga: Permintaan Bahan Bakar Pesawat dari Lemak Babi Melesat 3 Kali Lipat

Para peneliti berlomba-lomba membuat sektor transportasi menjadi lebih "hijau", dari mencari alternatif BBM yang ramah lingkungan hingga yang terbaru saat ini, elektrifikasi.

Dari segi alternatif minyak, muncullah bahan bakar nabati (BBN) dari minyak tanaman dan lemak hewani sebagai pencampur atau pengganti BBM di moda transportasi.

BBN menghasilkan emisi karbon lebih sedikit bila dibandingkan BBM.

BBN dari minyak tanaman sudah diimplementasikan di Indonesia yaitu campuran biodiesel untuk solar berupa B20 hingga B30. Sedangkan BBN dari lemak hewani belum secara masif dikembangkan.

Di luar negeri, BBN dari lemak hewani telah diimplementasikan di sejumlah negara, contohnya lemak babi dan lemak sapi. Lantas bagaimana mengubah minyak babi menjadi BBN? Berikut penjelasannya.

Baca juga: Sama-sama Bahan Bakar Nabati, Berikut Perbedaan HVO dan FAME Beserta Potensinya di Indonesia

Lemak babi untuk solar

Lemak minyak babi bisa diubah menjadi biodiesel untuk campuran solar. Biodiesel dari proses ini disebut sebagai fatty acid methyl ester (FAME).

Selain dari lemak babi, FAME atau biodiesel juga bisa diciptakan dari lemak hewani lainnya dan minyak nabati seperti dari kelapa sawit.

FAME atau biodiesel diproduksi melalui reaksi transesterifikasi menggunakan bahan baku minyak nabati dan alkohol dengan bantuan katalis basa.

Biodiesel perlu dicampur dengan solar bila akan digunakan sebagai bahan bakar minyak pada mesin diesel konvensional.

Campurannya pun harus disesuaikan dan memiliki batas atas agar tidak merusak mesin diesel konvensional.

Batas atas campuran biodiesel dapat dimaksimalkan jika mesin diesel yang mengonsumsinya dimodifikasi dengan spesifikasi tertentu yang bisa memanfaatkannya.

Baca juga: Chandra Asri dan LX International Jajaki Kerja Sama Proyek HVO

Lemak babi untuk bahan bakar pesawat

Lemak babi yang digunakan untuk bahan bakar pesawat menggunakan metode hydrogenated esters and fatty acids (HEFA).

Selain lemak babi, lemak hewani lain seperti lemak ayam dan sapi juga bisa dimanfaatkan, termasuk minyak nabati dan minyak jelantah.

Dalam metode HEFA terdapat proses mengolah trigliserida, asam lemak jenuh, atau tidak jenuh dalam minyak nabati, minyak goreng bekas, dan lemak hewani untuk menghasilkan bahan bakar pesawat.

Dilansir dari Renewable bio-jet fuel production for aviation: A review yang diterbitkan dalam jurnale Fuel tahun 2019, ada dua proses pengolahan dalam metode HEFA.

Proses pertama adalah mengubah asam lemak tak jenuh dan trigliserida menjadi asam lemak jenuh dengan hidrogenasi katalitik.

Asam lemak jenuh diubah menjadi alkana rantai lurus melalui hidrodeoksigenasi dan dekarboksilasi.

Proses kedua adalah adalah reaksi cracking and isomerization. Dalam proses ini, alkana rantai lurus diolah sedemikian rupa menghasilkan alkana rantai bercabang.

Dari alkana rantai bercabang, diolah lagi hingga terciptalah bahan bakar cair yang kemudian dipisahkan menjadi beberapa produk yaitu kerosene untuk bahan bakar pesawat, nafta, dan gas ringan.

Bahan bakar pesawat yang dihasilkan melalui metode HEFA dapat langsung digunakan dalam mesin penerbangan.

Baca juga: Uji Coba Kilang Cilacap Bisa Produksi Green Diesel dan Avtur

Potensi bumerang

Di sisi lain, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbasis di Brussels, Belgia, Transportation & Environment, memprediksi bahwa bahan bakar pesawat dari minyak hewani bisa meningkat tiga kali lipat pada 2030.

Hal tersebut memicu kekhawatiran selanjtnya dan berpotensi menjadi bumerang bagi produk lain.

Pasalnya, lemak hewani ini digunakan di banyak industri lain, seperti makanan hewan, sabun, dan kosmetik.

Namun, seperti yang ditulis oleh Transport & Environment dalam laporan mereka, bahwa ketersediaan lemak hewani terbatas.

Memanfaatkan dan membunuh lebih banyak hewan untuk konsumsi bukanlah suatu pilihan yang tepat.

Baca juga: Kemenristek: Green Diesel D100, Bahan Bakar Terbarukan dari Sawit

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau