KOMPAS.com - Environmental, social, and governance (ESG) seperangkat standar yang dipakai oleh investor yang sadar mengenai keberlanjutan untuk menilai perangai perusahaan yang kemudian dipakai untuk menyaring potensi investasi.
Dalam ESG terdapat tiga pilar yaitu environmental atau menjaga lingkungan, social atau dampak positif untuk sosial alias masyarakat sekitar, dan governance atau tata kelola dan kepemimpinan yang baik.
ESG dinilai penting karena menjadi instrumen bagi investor untuk menyaring perusahaan sekaligus mendorong perusahaan untuk bertindak secara bertanggung jawab.
ESG juga dapat mengawasi perusahaan induk agar tidak terlibat dalam praktik-praktik yang berisiko dan tidak etis.
Lantas sejak kapan konsep ESG ini muncul? Dilansir dari salah satu laman konsultan ESG internasional, ESG Go, konsep ESG awalnya mengemuka atas dasar semakin meningkatnya kesadaran akan investasi yang bertanggung jawab secara sosial pada 1960-an.
Baca juga: ESG: Pengertian, Pentingnya, dan Kriterianya
Meningkatnya kesadaran akan investasi yang bertanggung jawab secara sosial tak lepas dari degradasi lingkungan yang semakin parah dan kesadaran akan hak-hak sosial.
Dalam kurun waktu puluhan tahun, bermunculanlah gerakan-gerakan yang menyuarakan pembatasan emisi gas rumah kaca (GRK) dan memprioritaskan mitigasi perubahan iklim.
Dalam gerakan-gerakan tersebut, muncul juga isu mengenai penerapan ESG ke dalam persoalan bisnis.
Pada 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa menggelar KTT dengan nama populer Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil, sebagai peringatan 20 tahun atas konferensi lingkungan pertama di Stockholm, Swedia, pada 1972.
Baca juga: Sinarmas Land Pastikan Seluruh Rantai Pasokan Terapkan Prinsip ESG
Sejak saat itu, konferensi iklim terbesar sekaligus terpenting di planet Bumi, Conference of the Parties (COP) diadakan setiap tahun mulai 1995.
Gerakan yang berfokus pada dampak lingkungan ini melahirkan beberapa peristiwa yang berkontribusi pada popularitas sekaligus kerangka ESG.
Pada 1997, disepakatilah Protokol Kyoto untuk mendorong pemerintah di seluruh dunia mengurangi emisi GRK guna memerangi pemanasan global.
Dalam Protokol Kyoto, sebanyak 192 negara berjanji untuk menetapkan target untuk membatasi dan mengurangi emisi GRK yang mulai berlaku pada tahun 2005.
Baca juga: Kewirausahaan dan Pemberdayaan Perempuan, Komitmen Delta untuk ESG
Pada 2006, PBB mengembangkan Prinsip Investasi Bertanggung Jawab (PRI). Tujuan PRI adalah untuk memahami implikasi investasi dari faktor-faktor ESG dan untuk mempromosikan investasi berkelanjutan.
Dorongan untuk akuntabilitas dan keberlanjutan dari perusahaan besar ini diuji pada 2010 ketika tumpahan minyak laut terbesar dalam sejarah industri perminyakan terjadi.
Tumpahan minyak perusahaan raksasa energi BP di Teluk Meksiko tersebut merenggut 11 nyawa dan melukai 17 jiwa.
Insiden ini memicu pembicaraan serius tentang penerapan kerangka kerja ESG untuk semua perusahaan dan organisasi.
Masyarakat yang terkena dampak merasa tidak ada yang meminta pertanggungjawaban BP, tidak ada metrik terkait ESG untuk menunjukkan bahwa perusahaan telah beroperasi melawan standar etika yang ditetapkan secara internal.
Untuk memulai proses peningkatan transparansi, berdirilah Sustainability Accounting Standards Board (SASB) pada 2011 untuk menyusun informasi keuangan secara berkelanjutan.
Baca juga: Melalui Implementasi ESG, Grup Modalku Dukung Keberlanjutan Bisnis UMKM
Tahun 2015 menjadi tahun yang spesial. Pada tahun ini PBB menyepakati Sustainable Development Goals (SDGs) yang berisi 17 tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam menyepakati SDGs, isu-isu ESG juga menjadi pembahasan yang terdepan dan utama
Pada tahun ini pula, Perjanjian Paris diratifikasi untuk membatasi kenaikan suhu global tak sampai 1,5 derajat celsius.
Setelah menjalani proses yang panjang sejak 1992, semakin banyak desakan hingga mengarah pada munculnya kerangka kerja ESG.
Baca juga: Di RUPST, Bentoel Paparkan Capaian Bidang ESG Sepanjang 2022
Kerangka kerja ESG memungkinkan perusahaan menjadi lebih akuntabel dan transparan dengan pemangku kepentingan mereka.
Dilansir dari Investopedia, ketiga pilar dalam ESG memiliki kerangka kerja masing-masing.
Pilar environmental menilai bagaimana perusahaan menjaga lingkungan termasuk kebijakan-kebijakan perusahaan yang diambil untuk melawan pemanasan global dan perubahan iklim.
Pilar social menilai bagaimana perisahaan mengelola hubungan dengan karyawan, pemasok, pelanggan, dan masyarakat di sekitar perusahaan.
Pilar governance menilai tata kelola, kepemimpinan perusahaan, gaji level eksekutif, audit, kontrol internal, dan hak pemegang saham.
Baca juga: PwC Indonesia: Prinsip ESG Harus Masuk ke Dalam Tujuan IPO Perusahaan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya