KOMPAS.com – Istilah fast fashion menjadi semakin ramai diperbincangkan akhir-akhir ini.
Fast fashion merujuk pada tren pakaian yang diproduksi dengan harga yang relatif murah, meniru gaya di catwalk, dan segera dipasarkan di toko-toko untuk mengikuti tren yang terus berkembang.
Fast fashion melibatkan desain, produksi, distribusi, dan pemasaran pakaian yang serba cepat.
Karena itu, para peretail dapat melakukan kulak produk dari produsen dengan kuantitas yang besar dan variasi model yang banyak.
Hal tersebut membuat konsumen mendapatkan lebih banyak pilihan model sekaligus lebih banyak diferensiasi produk dengan harga yang terjangkau.
Istilah fast fashion diciptakan oleh New York Times pada awal 1990-an untuk menggambarkan misi salah satu merek yang hanya membutuhkan waktu 15 hari bagi sebuah garmen untuk beralih dari tahap desain hingga dijual di toko-toko.
Baca juga: Fast Fashion, Industri Mode yang Picu Kerusakan Lingkungan
Akan tetapi, fast fashion memiliki sisi gelap, terutama berdampak buruk terhadap lingkungan, sebagaimana dilansir Earth.org.
Menurut analisis dari Business Insider, produksi fesyen menyumbang 10 persen dari total emisi karbon global.
Industri fesyen dan pakaian sumber air dalam jumlah besar sekaligus mencemari sungai.
Di sisi lain, 85 persen dari semua produk tekstil yang tidak terpakai dibuang ke tempat pembuangan setiap tahunnya.
Bahkan, mencuci pakaian melepaskan 500.000 ton serat mikro ke laut setiap tahunnya, setara dengan 50 miliar botol plastik.
Baca juga: Mengenal Fenomena Fast Fashion, Ciri-ciri, dan Dampaknya
Laporan dari Quantis International pada 2018 menemukan bahwa ada tiga aktivitas industri fesyen dan pakaian yang berkontribusi besar terhadap limbah dan polutan global.
Ketiga aktivitas tersebut adalah pewarnaan dan finishing 36 persen, penyiapan benang 28 persen, serta produksi serat 15 persen.
Menurut Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB, emisi dari manufaktur tekstil saja diproyeksikan meroket hingga 60 persen pada 2030.
Waktu yang diperlukan suatu produk untuk melewati rantai pasokan, dari desain hingga pembelian, disebut lead time atau waktu tunggu.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya