JAKARTA, KOMPAS.com - Mun keyeng tangtu paareng... Bila kita bersungguh-sungguh, maka cita-cita akan tercapai.
Inilah motto hidup yang mengantarkan Toni Toharudin sukses menyabet gelar profesor bidang Ilmu Data Sains di Universitas Padjajaran, dan akan menjalani pengukuhan pada Agustus 2023 nanti.
Motto ini menjadi spesial, karena Toni tak pernah membayangkan cita-citanya bisa tercapai. Hal ini karena dia bukan berasal dari keluarga dan lingkungan akademisi.
Pada masa kecilnya, pria kelahiran Tasikmalaya 1 April 1970 ini adalah seorang kernet angkutan kota (angkot).
Semasa SMP, Toni menjadi kernet angkot trayek 04 jurusan Kota Tasikmalaya ke Kecamatan Mangkubumi. Rute angkot tersebut masih ada hingga saat ini.
Dia bercerita, sejak kecil bercita-cita menjadi guru. Jadilah dia bekerja menjadi kernet setiap hari saat pulang sekolah hingga larut malam, dengan imbalan bukan gaji, tapi dalam bentuk kemudahan bersekolah tanpa biaya.
Baca juga: Usia 33, Ibnu Sina Raih Predikat Guru Besar Hukum Termuda di Indonesia
"Alhamdulillah cita-cita kini tercapai, bahkan diberi kesempatan menjadi guru besar," kenang Toni dalam Webinar SEVIMA, Sabtu (24/6/2023).
Bekerja telah menjadi keseharian Toni. Sejak masih menjadi murid di sekolah dasar, putra bungsu dari enam bersaudara pasangan Mahmud dan Aik Karmini ini kerap membantu sang ayah untuk berjualan tembakau keliling ke toko-toko.
Tak hanya itu, dia juga menjajakan roti buatan sang ibu ke sekeliling Kampung Sambong Tengah yang terletak di Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya.
Walaupun keuntungan dari berdagang tak seberapa, kedua orang tua selalu mengajarkan Toni dan kakak-kakaknya untuk memprioritaskan menabung demi pendidikan. Bahkan keluarga rela makan dan hidup seadanya, asalkan anak-anaknya tetap bisa bersekolah.
"Jadi kenapa saya bercita-cita menjadi guru, karena dididik oleh orang tua saya ke arah situ. Pendidikan bagi kami sangat berharga dan akan mampu mengubah keadaan!," ungkap Toni.
Perjuangan melanjutkan pendidikan semakin berliku karena saat Toni kelas 5 SD, sang ayah meninggal dunia. Toni beserta kakak-kakaknya harus mencari nafkah dengan berbagai macam cara agar tetap bertahan hidup dan bersekolah.
Dari situlah perjalanan Toni menjadi kernet angkot dan berbagai profesi lainnya dimulai hingga tahun 1989, saat Toni lulus SMA dan hendak mendaftar perguruan tinggi.
Baca juga: Gandeng Dua Pemkab di Jambi, Tanoto Foundation Tingkatkan Kualitas Pendidikan Dasar
"Tahun 1989, saya mendaftar kuliah, dan saya merasa harus kuliah dan diterima di perguruan tinggi negeri. Karena kalau kuliah di universitas swasta tentu saya tidak sanggup membayar. Keinginan saya sangat kuat, karena jika saya tidak kuliah, mungkin saya akan tetap menjadi kernet angkot atau bekerja di kampung seperti sebelumnya," kenang Toni.
Dengan semangat belajar, Toni berhasil menjadi mahasiswa S1 Statistika Universitas Padjajaran tahun 1989, lulus sarjana tahun 1994, dan setahun kemudian mulai menjadi dosen di Universitas Padjajaran.
Dosen dan kerja serabutan
Menjadi dosen bukan berarti akhir dari perjuangan Toni. Ia masih bercita-cita untuk terus mengenyam pendidikan demi mengubah nasib.
Kesempatan sebagai dosen ia manfaatkan untuk terus melakukan penelitian. Sampai suatu saat, Toni meneliti bersama Johan HL Oud dan Kai Welzen, dua profesor asal Belanda.
Mereka membukakan kesempatan untuk Toni melanjutkan studi non-degree, magister, hingga doktoral di Belgia dan Belanda dengan beasiswa pemerintah maupun biaya sendiri.
Baca juga: Mengenal Tujuan 4 SDGs: Pendidikan Berkualitas
Karena beasiswa pemerintah jumlahnya terbatas, Toni juga harus bekerja keras selama kuliah di Belgia dan Belanda. Pekerjaan seperti mencuci piring di kantin, mencuci botol di pabrik, hingga menjadi peserta uji coba obat-obatan, pernah ia lakoni demi sesuap nasi di perantauan.
"Bahkan beberapa kali di kelas saat kuliah saya mengantuk, karena saya harus kuliah dari pagi hingga sore, lalu dari jam 9 malam hingga jam 5 pagi saya harus bekerja," ungkap Toni.
Sepulang studi dari Eropa pada tahun 2010, didikan orang tua Toni terbukti. Pendidikan berhasil mengubah nasibnya.
Tahun 2013, Toni dipercaya menjadi anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM), sebagai lembaga pemerintah yang bertugas menjamin mutu pendidikan puluhan ribu sekolah se-Indonesia.
Pada tahun 2018, Toni juga didapuk sebagai kepala badan tersebut, dan kini memeroleh kepercayaan sebagai Anggota Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Non Formal di Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Perjalanan hidup yang penuh dengan perjuangan tersebut terbukti membentuk karakter Toni yang gigih, ulet, dan memiliki semangat juang tinggi.
Kini nasib Toni telah berubah, bahkan mencapai prestasi sebagai seorang profesor. Oleh karenanya kepada para pelajar yang masih berjuang untuk berkuliah, Toni mengajak untuk terus bersemangat.
"Jangan pernah menyesali kegagalan karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu memberikan jalan yang terbaik. Mari kita terus percaya, mun keyeng tangtu pareng, yang artinya: berusaha sungguh-sungguh, maka pasti (cita-cita) akan tercapai!," tuntasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya