Sampai saat ini, dia mengaku, belum memiliki rencana untuk mendorong penambahan jumlah penerima manfaat energi alternatif tersebut karena ingin mengoptimalkan yang ada.
Baca juga: Stakeholder Sektor Bangunan Didorong Bikin Terobosan Proyek Efisiensi Energi
“Kami masih mau melihat kendala apa yang sering terjadi di lapangan untuk dicari solusinya. Ya, satu-dua tahun seperti ini dulu lah. Kami tidak mau buru-buru (menambah) karena takutnya di tengah jalan malah berhenti. Jadi rugi semua,” ujar Arief.
Arief mengatakan, sumber gas rawa di desanya ditemukan di tanah milik warga Kampung Dukuh bernama Sholikin. Instalasi gas rawa kemudian dibangun di dekatnya dan dikelola oleh Pokmas sekitar.
Saat dimintai informasi, Sholikin berkisah, sumber gas rawa ditemukan secara tidak sengaja pada 2019. Saat itu dirinya sedang berupaya membuat sumur bor dengan bantuan Baznas.
Setelah mengebor tanah di beberapa lokasi dengan kedalaman hingga 120 meter, dia lagi-lagi hanya mendapatkan air asin. Kemudian, pada suatu malam, ada warga yang iseng menyalakan korek api di dekat sumur saat airnya sedang surut.
“Dari situ, kami kaget, tiba-tiba api langsung menyambar,” kata Sholikin yang juga menjadi ketua RT 006/RW 001 di Kampung Dukuh.
Kabar sumur dengan air yang bisa menyala di pekarangan rumahnya kemudian dengan cepat menyebar ke telinga masyarakat.
Baca juga: Olimpiade Paris 2024 Dijanjikan Paling Ramah Lingkungan, Ini Alasannya
Banyak orang tertarik mengunjungi rumahnya. Sumur api juga sempat viral di media sosial. Khawatir membahayakan, sumur lantas diberi garis polisi oleh aparat.
Selang beberapa saat, Dinas ESDM Jateng kemudian menerjunkan tim untuk meneliti fenomena sumur api di kampungnya. Baru pada 2022, Pemprov lantas membangunkan instalasi gas rawa untuk dipakai warga.
Sebelum dibangun instalasi, Sholikin mengaku sempat memasang tungku sederhana di lokasi sumber gas rawa. Di atasnya bisa diletakkan wajah atau panci untuk memasak.
Kini, keluarganya tak perlu lagi membawa peralatan masak ke pekarangan. Kompor di dapur rumah mereka pasalnya sekarang sudah dilengkapi dengan instalasi pipa sepanjang lebih kurang 25 meter yang tersambung ke sumber gas rawa.
Berarti terhitung ada lebih dari tiga tahun keluarga Sholikhin telah mengurangi pengeluaran bulanan berkat temuan gas rawa. Mereka nyaris tak perlu lagi membeli gas elpiji.
“Kalau dulu (di sumber), warna apinya oranye kemerahan. Sekarang lain, apinya (di kompor) berwarna biru dengan tekanan gas cukup besar. Ini lebih panas,” jelas dia.
Hanya, gas rawa di Krendowahono baru digunakan warga untuk keperluan memasak sehari-hari. Belum ada warga yang memanfaatkannya untuk usaha kecil guna menambah pendapatan keluarga.
Plt. Kepala Dinas ESDPM Jateng Boedyo Darmawan menyebut, pembangunan infrastruktur instalasi perpipaan BSG di wilayah Jateng telah dilakukan oleh Pemprov sejak 2017.
Dinas ESDM Jateng berkomitmen akan mendukung pemanfaatan rembesan gas dangkal atau gas rawa ini sebagai sumber energi alternatif pengganti elpiji.
Dia menjelaskan, pemanfaatan gas rawa telah terbukti mampu menekan pengeluaran masyarakat terhadap konsumsi energi.
Gambarannya, tiap KK jadi tak perlu lagi mengeluarkan uang minimal Rp 62.000 per bulan untuk membeli elpiji. Sebaliknya, mereka hanya perlu membayar Rp 15.000-Rp 20.000 untuk iuran pemanfaatan gas rawa.
Baca juga: Material Proyek Infrastruktur IKN Dijamin 100 Persen Ramah Lingkungan
Dengan kata lain, tiap KK pengguna gas rawa bisa menghemat 32 persen dari biaya elpiji.
“Selisih pengeluaran biaya ini diharapkan dapat digunakan untuk aktivitas produktif dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat,” ungkap Boedyo, Selasa (4/7/2023).
Pemprov Jateng berharap instalasi pemanfaatan gas rawa yang telah tersedia di sejumlah daerah di Jateng dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik oleh masyarakat.
Kepala Bidang (Kabid) Energi Baru dan Terbarukan Dinas ESDM Jateng Eni Lestari menuturkan, dengan teknologi yang terus berkembang, gas rawa diharapkan dapat dikelola oleh BUMDes setempat untuk dapat meningkatkan perekonomian warga.
“Saat ini ada juga masyarakat yang sudah memanfaatkan keberadaan gas rawa untuk meningkatkan perekonomian, antara lain melalui usaha makanan,” jelas dia.
Eni mengimbau, Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna Desa (Posyantek Desa) juga perlu dikembangkan di desa dengan potensi gas rawa.
Baca juga: Dukung Riau Hijau, MG Perkenalkan Mobil Listrik Ramah Lingkungan
“Posyantek Desa bisa menjadi wadah untuk dapat memberikan pelatihan instalasi perpipaan sehingga dapat pula membuka lapangan kerja baru bagi penduduk sekitar,” ucapnya.
Pengembangan kompetensi dalam hal pemanfaatan dan pemeliharaan instalasi gas rawa oleh BUMDes-Posyantek Desa perlu diwujudkan sebagai bentuk kemandirian dan keswadayaan masyarakat dalam mengelola potensi setempat.
“Kalau bicara pengelolaan desa mandiri energi atau berbasis potensi setempat nomor satu ya perhatikan pengelolaannya. Kami inginnya kan tetap sustain,” jelas Eni.
Sementara itu, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum berpendapat, agar pemanfaatan gas rawa berkelanjuta, lumrah jika warga pengguna mesti membayar iuran.
“Karena berupa instalasi dan digunakan bersama, tentunya diperlukan perawatan dan pengoperasian yang baik dan benar untuk memastikan alirannya stabil, komposisi sesuai, lalu bisa segera ditangani bila ada gangguan,” jelasnya.
Biaya yang muncul dari sini bisa ditarik dari masyarakat pengguna sehingga lebih berkelanjutan, jika instalasi awalnya merupakan hibah. Meski demikian, menurut dia, dimungkinkan juga proses penyediaan sampai pengelolaan instalasi sepenuhnya dilakukan oleh desa melalui BUMDes.
“Tentunya juga dengan kelembagaan dan SDM yang disiapkan dengan baik untuk bisa mengelola instalasi sebagai unit bisnis yang memadai,” pesan Citra.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya