Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Gembira Warga Banjarnegara-Karanganyar Usai Beralih ke Gas Rawa

Kompas.com, 6 Juli 2023, 17:00 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BANJARNEGARA, KOMPAS.com – Hampir seluruh permukaan luar kompor milik Makhuri (70) tertutup lapisan debu tebal, Kamis (22/6/2023). Bagian-bagian yang dulunya mengkilap, kini tampak kotor dan kusam.

Sarang laba-laba juga dengan mudah ditemui di bagian dalamnya.

Kompor tersebut memang sudah lama tak lagi digunakan dan dibersihkan oleh keluarga Makhuri. Ada lebih dari 1,5 tahun kompor itu dibiarkan menganggur di meja dapur.

Alasan Makhuri tak lagi memanfaatkan kompor gas itu bukan lantaran rusak. Bagian-bagian kompor pada kenyataannya masih lengkap dan berfungsi dengan baik.

Penyebabnya, karena tidak ada lagi gas rawa atau biogenic shallow gas (BSG) yang dialirkan ke rumahnya. Gas rawa termasuk bagian dari energi baru terbarukan (EBT).

Baca juga: Potensi Energi Surya Jateng Melimpah Ruah, Pertumbuhan Investasi Perlu Digenjot

Kompor gas kepunyaan warga RT 007/RW 001 Dusun Duglig, Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng), itu memang terbilang khusus.

Kompor tersebut sedari awal dirancang hanya untuk memanfaatkan gas rawa yang terbentuk akibat reduksi karbon (CO2) oleh bakteri dari batuan vulkanik magmatik di lapisan tanah dangkal.

Tidak ada regulator gas yang terpasang pada kompor Makhuri. Dengan ini, kompor tak dapat digunakan dengan memanfaatkan tabung elpiji sebagai bahan bakar.

Selang kompor langsung tersambung pipa-pipa yang mengalirkan gas rawa.

Untungnya, keluarga Makhuri masih memiliki dua kompor lain yang bisa dipakai untuk memasak sehari-hari. Satu kompor gas biasa, lainnya kompor tungku kayu.

Namun, jika boleh memilih, dia ingin gas rawa terus mengalir ke rumahnya. Makhuri merasa begitu terbantu dengan adanya sumber energi alternatif tersebut.

Manfaat besar

Dia bercerita, gas rawa terakhir masuk ke rumahnya melalui instalasi pipa-pipa pada 2021.

Padahal dengan adanya gas rawa, keluarga Makhuri jadi bisa menghemat biaya pembelian gas elpiji untuk kebutuhan energi sehari-hari.

Baca juga: Transisi Energi Berkeadilan, Indonesia Perlu Siapkan Paket Pembiayaan Komprehensif

Makhuri mengeluh, kini rata-rata harus kembali menyediakan uang lebih kurang Rp 66.000 per bulan untuk membeli tiga “gas melon”.

Jumlah pengeluaran tersebut lebih banyak jika dibandingkan ketika dirinya masih menggunakan gas rawa pada 2020-2021.

Kala itu, keluarga Makhuri hanya perlu membeli paling banyak satu tabung elpiji 3 kilogram per bulan untuk jadi cadangan atau digunakan jika ada kebutuhan memasak lebih banyak dan cepat.

Saat ini, jika ingin menekan pembelian elpiji, Makhuri mengaku, harus sering-sering lagi pergi ke tegalan (kebun) untuk mencari kayu bakar.

Kondisi lokasi sumber gas rawa yang dimanfaatkan oleh warga Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) sebagai sumber alternatif pengganti elpiji, Kamis (22/6/2023). KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Kondisi lokasi sumber gas rawa yang dimanfaatkan oleh warga Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) sebagai sumber alternatif pengganti elpiji, Kamis (22/6/2023).
Pada usianya yang semakin tua, dia pun mengeluh pekerjaan tersebut kian berat saja untuk bisa diselesaikan.

Dengan kondisi lutut dan pinggang yang sudah sering sakit-sakitan, dia mesti berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer menuju ke tegalan. Pulangnya, Makhuri masih harus membawa beban kayu bakar yang bisa mencapai 10-20 kilogram.

“Elpiji kan terkadang susah dicari dan harganya bisa naik sewaktu-waktu. Sekarang ya saya jadi sering ambil kayu bakar lagi. Nyumet-nya lebih susah, apalagi pas musim hujan, kayunya basah. Makanya, gas rawa ini dulu sangat membantu,” ujar Makhuri ketika berbincang dengan Kompas.com di rumahnya, Kamis (6/7/2023).

Baca juga: Akselerasi Transisi Energi dengan Interkoneksi Jaringan dan Teknologi Penyimpanan

Hal senada diungkapkan oleh warga Desa Bantar lainnya bernama Partomi (63). Dia menuturkan, pembangunan instalasi pemanfaatan gas rawa oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng pada 2020 begitu menguntungkan keluarganya.

“Yang jelas, saat itu kami jadi tidak lagi dipusingkan dengan persoalan kelangkaan atau mahalnya gas elpiji di pasaran,” kata Partomi.

Makhuri dan Partomi pun mengaku tak keberatan jika harus kembali membayar iuran asal gas rawa mengalir lagi ke rumah mereka seperti dua tahun lalu.

Keduanya bercerita, dahulu warga pengguna sempat bersepakat membayar iuran Rp 20.000 per kepala keluarga (KK) untuk mendukung instalasi gas rawa. Tetapi, warga baru sekali membayar iuran, aliran gas rawa kemudian mati.

Makhuri dan Partomi tidak tahu persis apa yang menjadi penyebab distribusi gas rawa berhenti.

Hanya, kata mereka, kondisi itu dipastikan terjadi setelah ada penambahan jumlah pengguna menjadi 100 KK dan tekanan gas rawa menjadi semakin tak stabil.

Baca juga: Pembiayaan Campuran Didukung Guna Percepat Transisi Energi Indonesia

Berdasarkan informasi yang beredar, Makhuri menyebut, operasional gas rawa telah dihentikan oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Bantar guna perbaikan instalasi.

Dia memang melihat Pemdes Bantar tengah memasang beberapa unit tabung separator atau penampung gas rawa di lingkungan rumah, pada tahun 2022.

Makhuri pun berharap instalasi gas rawa tersebut dapat segera kembali beroperasi.

Lebih lanjut, dia berdoa, setelah dilakukan perbaikan instalasi, tekanan gas rawa yang masuk ke rumahnya bisa menjadi lebih stabil sehingga keluarganya tak perlu lagi rutin membeli elpiji.

“Saya rasa harapan semua warga (pengguna lain) juga demikian,” ungkap pria lansia itu.

Makhuri dan Partomi sendiri masih mempertahankan keberadaan kompor khusus gas rawa di dapur. Mereka memilih tidak membongkar kompor untuk disimpan di gudang atau mengubahnya menjadi kompor gas elpiji.

Keduanya tetap membiarkan kompor tersambung dengan instalasi pipa paralon (PVC) karena optimistis itu akan teraliri kembali gas rawa yang diambil dari sumber di lereng bukit, sekitar 50 meter di bawah jalan utama Desa Bantar.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Dukung Pembelajaran Anak Disabilitas, Wenny Yosselina Kembangkan Buku Visual Inklusif
Dukung Pembelajaran Anak Disabilitas, Wenny Yosselina Kembangkan Buku Visual Inklusif
LSM/Figur
Kemendukbangga: Program MBG Bantu Cegah Stunting pada Anak
Kemendukbangga: Program MBG Bantu Cegah Stunting pada Anak
Pemerintah
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
LSM/Figur
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Pemerintah
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
LSM/Figur
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
LSM/Figur
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera
Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera
LSM/Figur
Perkuat Profesionalisme, AIIR Jadi Organisasi Profesi Investor Relations Pertama di Indonesia
Perkuat Profesionalisme, AIIR Jadi Organisasi Profesi Investor Relations Pertama di Indonesia
LSM/Figur
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
LSM/Figur
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
LSM/Figur
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Pemerintah
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
LSM/Figur
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau