BANJARNEGARA, KOMPAS.com – Hampir seluruh permukaan luar kompor milik Makhuri (70) tertutup lapisan debu tebal, Kamis (22/6/2023). Bagian-bagian yang dulunya mengkilap, kini tampak kotor dan kusam.
Sarang laba-laba juga dengan mudah ditemui di bagian dalamnya.
Kompor tersebut memang sudah lama tak lagi digunakan dan dibersihkan oleh keluarga Makhuri. Ada lebih dari 1,5 tahun kompor itu dibiarkan menganggur di meja dapur.
Alasan Makhuri tak lagi memanfaatkan kompor gas itu bukan lantaran rusak. Bagian-bagian kompor pada kenyataannya masih lengkap dan berfungsi dengan baik.
Penyebabnya, karena tidak ada lagi gas rawa atau biogenic shallow gas (BSG) yang dialirkan ke rumahnya. Gas rawa termasuk bagian dari energi baru terbarukan (EBT).
Baca juga: Potensi Energi Surya Jateng Melimpah Ruah, Pertumbuhan Investasi Perlu Digenjot
Kompor gas kepunyaan warga RT 007/RW 001 Dusun Duglig, Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng), itu memang terbilang khusus.
Kompor tersebut sedari awal dirancang hanya untuk memanfaatkan gas rawa yang terbentuk akibat reduksi karbon (CO2) oleh bakteri dari batuan vulkanik magmatik di lapisan tanah dangkal.
Tidak ada regulator gas yang terpasang pada kompor Makhuri. Dengan ini, kompor tak dapat digunakan dengan memanfaatkan tabung elpiji sebagai bahan bakar.
Selang kompor langsung tersambung pipa-pipa yang mengalirkan gas rawa.
Untungnya, keluarga Makhuri masih memiliki dua kompor lain yang bisa dipakai untuk memasak sehari-hari. Satu kompor gas biasa, lainnya kompor tungku kayu.
Namun, jika boleh memilih, dia ingin gas rawa terus mengalir ke rumahnya. Makhuri merasa begitu terbantu dengan adanya sumber energi alternatif tersebut.
Dia bercerita, gas rawa terakhir masuk ke rumahnya melalui instalasi pipa-pipa pada 2021.
Padahal dengan adanya gas rawa, keluarga Makhuri jadi bisa menghemat biaya pembelian gas elpiji untuk kebutuhan energi sehari-hari.
Baca juga: Transisi Energi Berkeadilan, Indonesia Perlu Siapkan Paket Pembiayaan Komprehensif
Makhuri mengeluh, kini rata-rata harus kembali menyediakan uang lebih kurang Rp 66.000 per bulan untuk membeli tiga “gas melon”.
Jumlah pengeluaran tersebut lebih banyak jika dibandingkan ketika dirinya masih menggunakan gas rawa pada 2020-2021.
Kala itu, keluarga Makhuri hanya perlu membeli paling banyak satu tabung elpiji 3 kilogram per bulan untuk jadi cadangan atau digunakan jika ada kebutuhan memasak lebih banyak dan cepat.
Saat ini, jika ingin menekan pembelian elpiji, Makhuri mengaku, harus sering-sering lagi pergi ke tegalan (kebun) untuk mencari kayu bakar.
Dengan kondisi lutut dan pinggang yang sudah sering sakit-sakitan, dia mesti berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer menuju ke tegalan. Pulangnya, Makhuri masih harus membawa beban kayu bakar yang bisa mencapai 10-20 kilogram.
“Elpiji kan terkadang susah dicari dan harganya bisa naik sewaktu-waktu. Sekarang ya saya jadi sering ambil kayu bakar lagi. Nyumet-nya lebih susah, apalagi pas musim hujan, kayunya basah. Makanya, gas rawa ini dulu sangat membantu,” ujar Makhuri ketika berbincang dengan Kompas.com di rumahnya, Kamis (6/7/2023).
Baca juga: Akselerasi Transisi Energi dengan Interkoneksi Jaringan dan Teknologi Penyimpanan
Hal senada diungkapkan oleh warga Desa Bantar lainnya bernama Partomi (63). Dia menuturkan, pembangunan instalasi pemanfaatan gas rawa oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng pada 2020 begitu menguntungkan keluarganya.
“Yang jelas, saat itu kami jadi tidak lagi dipusingkan dengan persoalan kelangkaan atau mahalnya gas elpiji di pasaran,” kata Partomi.
Makhuri dan Partomi pun mengaku tak keberatan jika harus kembali membayar iuran asal gas rawa mengalir lagi ke rumah mereka seperti dua tahun lalu.
Keduanya bercerita, dahulu warga pengguna sempat bersepakat membayar iuran Rp 20.000 per kepala keluarga (KK) untuk mendukung instalasi gas rawa. Tetapi, warga baru sekali membayar iuran, aliran gas rawa kemudian mati.
Makhuri dan Partomi tidak tahu persis apa yang menjadi penyebab distribusi gas rawa berhenti.
Hanya, kata mereka, kondisi itu dipastikan terjadi setelah ada penambahan jumlah pengguna menjadi 100 KK dan tekanan gas rawa menjadi semakin tak stabil.
Baca juga: Pembiayaan Campuran Didukung Guna Percepat Transisi Energi Indonesia
Berdasarkan informasi yang beredar, Makhuri menyebut, operasional gas rawa telah dihentikan oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Bantar guna perbaikan instalasi.
Dia memang melihat Pemdes Bantar tengah memasang beberapa unit tabung separator atau penampung gas rawa di lingkungan rumah, pada tahun 2022.
Makhuri pun berharap instalasi gas rawa tersebut dapat segera kembali beroperasi.
Lebih lanjut, dia berdoa, setelah dilakukan perbaikan instalasi, tekanan gas rawa yang masuk ke rumahnya bisa menjadi lebih stabil sehingga keluarganya tak perlu lagi rutin membeli elpiji.
“Saya rasa harapan semua warga (pengguna lain) juga demikian,” ungkap pria lansia itu.
Makhuri dan Partomi sendiri masih mempertahankan keberadaan kompor khusus gas rawa di dapur. Mereka memilih tidak membongkar kompor untuk disimpan di gudang atau mengubahnya menjadi kompor gas elpiji.
Keduanya tetap membiarkan kompor tersambung dengan instalasi pipa paralon (PVC) karena optimistis itu akan teraliri kembali gas rawa yang diambil dari sumber di lereng bukit, sekitar 50 meter di bawah jalan utama Desa Bantar.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya