Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Gembira Warga Banjarnegara-Karanganyar Usai Beralih ke Gas Rawa

Kompas.com - 06/07/2023, 17:00 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BANJARNEGARA, KOMPAS.com – Hampir seluruh permukaan luar kompor milik Makhuri (70) tertutup lapisan debu tebal, Kamis (22/6/2023). Bagian-bagian yang dulunya mengkilap, kini tampak kotor dan kusam.

Sarang laba-laba juga dengan mudah ditemui di bagian dalamnya.

Kompor tersebut memang sudah lama tak lagi digunakan dan dibersihkan oleh keluarga Makhuri. Ada lebih dari 1,5 tahun kompor itu dibiarkan menganggur di meja dapur.

Alasan Makhuri tak lagi memanfaatkan kompor gas itu bukan lantaran rusak. Bagian-bagian kompor pada kenyataannya masih lengkap dan berfungsi dengan baik.

Penyebabnya, karena tidak ada lagi gas rawa atau biogenic shallow gas (BSG) yang dialirkan ke rumahnya. Gas rawa termasuk bagian dari energi baru terbarukan (EBT).

Baca juga: Potensi Energi Surya Jateng Melimpah Ruah, Pertumbuhan Investasi Perlu Digenjot

Kompor gas kepunyaan warga RT 007/RW 001 Dusun Duglig, Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng), itu memang terbilang khusus.

Kompor tersebut sedari awal dirancang hanya untuk memanfaatkan gas rawa yang terbentuk akibat reduksi karbon (CO2) oleh bakteri dari batuan vulkanik magmatik di lapisan tanah dangkal.

Tidak ada regulator gas yang terpasang pada kompor Makhuri. Dengan ini, kompor tak dapat digunakan dengan memanfaatkan tabung elpiji sebagai bahan bakar.

Selang kompor langsung tersambung pipa-pipa yang mengalirkan gas rawa.

Untungnya, keluarga Makhuri masih memiliki dua kompor lain yang bisa dipakai untuk memasak sehari-hari. Satu kompor gas biasa, lainnya kompor tungku kayu.

Namun, jika boleh memilih, dia ingin gas rawa terus mengalir ke rumahnya. Makhuri merasa begitu terbantu dengan adanya sumber energi alternatif tersebut.

Manfaat besar

Dia bercerita, gas rawa terakhir masuk ke rumahnya melalui instalasi pipa-pipa pada 2021.

Padahal dengan adanya gas rawa, keluarga Makhuri jadi bisa menghemat biaya pembelian gas elpiji untuk kebutuhan energi sehari-hari.

Baca juga: Transisi Energi Berkeadilan, Indonesia Perlu Siapkan Paket Pembiayaan Komprehensif

Makhuri mengeluh, kini rata-rata harus kembali menyediakan uang lebih kurang Rp 66.000 per bulan untuk membeli tiga “gas melon”.

Jumlah pengeluaran tersebut lebih banyak jika dibandingkan ketika dirinya masih menggunakan gas rawa pada 2020-2021.

Kala itu, keluarga Makhuri hanya perlu membeli paling banyak satu tabung elpiji 3 kilogram per bulan untuk jadi cadangan atau digunakan jika ada kebutuhan memasak lebih banyak dan cepat.

Saat ini, jika ingin menekan pembelian elpiji, Makhuri mengaku, harus sering-sering lagi pergi ke tegalan (kebun) untuk mencari kayu bakar.

Kondisi lokasi sumber gas rawa yang dimanfaatkan oleh warga Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) sebagai sumber alternatif pengganti elpiji, Kamis (22/6/2023). KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Kondisi lokasi sumber gas rawa yang dimanfaatkan oleh warga Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) sebagai sumber alternatif pengganti elpiji, Kamis (22/6/2023).
Pada usianya yang semakin tua, dia pun mengeluh pekerjaan tersebut kian berat saja untuk bisa diselesaikan.

Dengan kondisi lutut dan pinggang yang sudah sering sakit-sakitan, dia mesti berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer menuju ke tegalan. Pulangnya, Makhuri masih harus membawa beban kayu bakar yang bisa mencapai 10-20 kilogram.

“Elpiji kan terkadang susah dicari dan harganya bisa naik sewaktu-waktu. Sekarang ya saya jadi sering ambil kayu bakar lagi. Nyumet-nya lebih susah, apalagi pas musim hujan, kayunya basah. Makanya, gas rawa ini dulu sangat membantu,” ujar Makhuri ketika berbincang dengan Kompas.com di rumahnya, Kamis (6/7/2023).

Baca juga: Akselerasi Transisi Energi dengan Interkoneksi Jaringan dan Teknologi Penyimpanan

Hal senada diungkapkan oleh warga Desa Bantar lainnya bernama Partomi (63). Dia menuturkan, pembangunan instalasi pemanfaatan gas rawa oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng pada 2020 begitu menguntungkan keluarganya.

“Yang jelas, saat itu kami jadi tidak lagi dipusingkan dengan persoalan kelangkaan atau mahalnya gas elpiji di pasaran,” kata Partomi.

Makhuri dan Partomi pun mengaku tak keberatan jika harus kembali membayar iuran asal gas rawa mengalir lagi ke rumah mereka seperti dua tahun lalu.

Keduanya bercerita, dahulu warga pengguna sempat bersepakat membayar iuran Rp 20.000 per kepala keluarga (KK) untuk mendukung instalasi gas rawa. Tetapi, warga baru sekali membayar iuran, aliran gas rawa kemudian mati.

Makhuri dan Partomi tidak tahu persis apa yang menjadi penyebab distribusi gas rawa berhenti.

Hanya, kata mereka, kondisi itu dipastikan terjadi setelah ada penambahan jumlah pengguna menjadi 100 KK dan tekanan gas rawa menjadi semakin tak stabil.

Baca juga: Pembiayaan Campuran Didukung Guna Percepat Transisi Energi Indonesia

Berdasarkan informasi yang beredar, Makhuri menyebut, operasional gas rawa telah dihentikan oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Bantar guna perbaikan instalasi.

Dia memang melihat Pemdes Bantar tengah memasang beberapa unit tabung separator atau penampung gas rawa di lingkungan rumah, pada tahun 2022.

Makhuri pun berharap instalasi gas rawa tersebut dapat segera kembali beroperasi.

Lebih lanjut, dia berdoa, setelah dilakukan perbaikan instalasi, tekanan gas rawa yang masuk ke rumahnya bisa menjadi lebih stabil sehingga keluarganya tak perlu lagi rutin membeli elpiji.

“Saya rasa harapan semua warga (pengguna lain) juga demikian,” ungkap pria lansia itu.

Makhuri dan Partomi sendiri masih mempertahankan keberadaan kompor khusus gas rawa di dapur. Mereka memilih tidak membongkar kompor untuk disimpan di gudang atau mengubahnya menjadi kompor gas elpiji.

Keduanya tetap membiarkan kompor tersambung dengan instalasi pipa paralon (PVC) karena optimistis itu akan teraliri kembali gas rawa yang diambil dari sumber di lereng bukit, sekitar 50 meter di bawah jalan utama Desa Bantar.

Dikelola profesional

Wujud separator instalasi pemanfaatan gas rawa di Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) yang digunakan warga untuk mengganti penggunaan gas elpiji sehari-hari, Kamis (22/6/2023).KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Wujud separator instalasi pemanfaatan gas rawa di Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) yang digunakan warga untuk mengganti penggunaan gas elpiji sehari-hari, Kamis (22/6/2023).
Sejatinya, keberadaan sumber gas rawa dangkal di Desa Bantar sudah diketahui warga sejak 50 tahun lalu. Tetapi, sumber energi alternatif tersebut baru dimanfaatkan untuk menyubstitusi elpiji mulai 2020.

Pada tahun itu, mulanya Pemprov Jateng melalui Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) membangunkan instalasi pemanfaatan gas rawa dengan menyasar 25 KK.

Setahun kemudian, Pemprov memberikan bantuan tambahan berupa pembangunan instalasi untuk 75 KK.

Sejak itu, penerima manfaat gas rawa di Bantar jadi bertambah 100 KK. Dinas ESDM Jateng menyediakan anggaran untuk pemberdayaan gas rawa dangkal senilai total Rp 273 juta.

Baca juga: Wujudkan Pilar ke-7 SDGs, LSPR dan Panasonic Pasang Panel Surya

Saat dimintai konfirmasi, Kepala Desa Bantar Eko Purwanto membenarkan, instalasi gas rawa di desanya sudah tak beroperasi lagi sejak 2021, tepatnya pada Desember.

Alasannya, Pemdes punya inisiatif menyiapkan tiga unit separator tambahan pada tahun lalu dengan menggunakan dana desa.

Separator dapat dipahami sebagai alat berupa tabung bertekanan yang berfungsi memisahkan air dengan gas.

Gas rawa yang sudah terpisah dengan air di dalam separator inilah yang kemudian didorong dengan kompresor ke rumah-rumah warga untuk jadi sumber energi.

Eko menjelaskan, tujuan Pemdes menambah tabung separator adalah untuk lebih menjaga kestabilan pasokan dan pembagian gas yang merata kepada para pengguna.

“Kemarin itu kan ada yang besar, ada yang kecil (aliran gas rawa ke rumah). Jadi, untuk mencegah konflik lebih jauh di lapangan, kami putuskan diupayakan dulu perbaikan,” kata Eko saat ditemui di rumahnya.

Baca juga: Bagaimana Jika Seluruh Gurun Sahara Dipasangi Panel Surya?

Dia menerangkan, pekerjaan penyediaan unit separator baru sebagai booster memang sudah rampung sejak tahun lalu. Tetapi, instalasi gas rawa tetap saja tak bisa dioperasikan seketika itu juga karena masih butuh penyesuaian lanjutan.

Penyesuaian yang dimaksud Eko adalah pembaruan instalasi penyaluran gas rawa dari separator ke rumah-rumah warga. Nah, dia menyebut, pekerjaan penyesuauaan ini belum bisa dilaksanakan sampai sekarang karena terkendala ketersediaan tenaga ahli.

“Sejauh ini, hanya ada satu teknisi yang kami tahu bisa melakukan pekerjaan itu. Dia memang tangan kanan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi untuk mengembangkan instalasi gas rawa. Karena dia sedang punya kerja di tempat lain, kami sekarang hanya bisa menunggu,” jelas Eko.

Eko mengaku telah beberapa kali mencoba berkoordinasi dengan tenaga ahli tersebut untuk memastikan kapan bisa membantu memperbaharui instalasi gas rawa di Bantar. Eko telah menargetkan instalasi itu bisa kembali beroperasi pada tahun depan.

Dia memastikan Pemdes juga menginginkan gas rawa bisa segera mengalir lagi ke rumah-rumah warga karena itu sangat membantu sekali perekomian mereka.

Jika dihitung sekilas, warga Bantar mampu berhemat hingga Rp 52,8 juta per tahun ketika menggunakan gas rawa. Angka itu adalah hasil perkalian 100, 12, dan Rp 44.000.

Baca juga: Tak Cuma Musik, K-Popers Juga Peduli Energi Bersih

Angka 100 merujuk pada jumlah warga pengguna gas rawa. Sementara, Rp 44.000 adalah hasil pengurangan dari harga tiga gas elpiji yang tak perlu dibeli lagi oleh warga tiap bulan (Rp 66.000) dengan besaran iuran operasional gas rawa per bulan (Rp 20.000). Sedangkan, 12 adalah jumlah bulan dalam setahun.

“Kami (Pemdes) pada dasarnya sangat mendukung pemanfaatan gas rawa ini sebagai sumber energi alternatif baru oleh masyarakat sekaligus untuk mewujudkan kemandirian energi desa di Jateng,” tutur dia.

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan gas rawa sebagai EBT di Bantar, Pemdes juga telah berencana memperbaiki sistem pengelolaannya.

Ke depan, lanjut Eko, pengelolaan instalasi gas rawa bakal diserahkan dari kelompok masyarakat (pokmas) penerima hibah kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

“Arahnya nanti gas rawa bisa dikelola dengan lebih profesional. SDM kami tata lagi. Semuanya kemudian ditentukan dengan jelas, seperti berapa iurannya, kapan terakhir bayar, jam operasional, sistem pelaporan keruskan, atau siapa teknisi lokalnya. Harapannya, dengan begitu, pemanfaatan gas rawa bisa berkelanjutan. Mudah-mudahan ini dapat kami wujudkan mulai 2025,” papar Eko.

Baca juga: Energi Terbarukan Dianggap Gagal Menggeser Dominasi Bahan Bakar Fosil

Dia menyampaikan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan ada kian banyak warga yang bisa menerima aliran gas rawa setelah instalasi dikelola dengan lebih baik. Bagaimanapun saat ini baru 10 persen KK di Bantar yang teraliri gas rawa.

Lagi pula, Desa Bantar masih memiliki empat titik sumber gas rawa dangkal lain yang bisa dipakai sebagai cadangan maupun untuk memperluas cakupan penerima manfaat.

“Melalui pengelolaan yang baik, instalasi gas rawa ini diharapkan akan terus berkembang. Termasuk, kami punya cita-cita akan dipasang panel surya di sana. Ini kan nanti manfaatnya akan kembali ke warga. Iuran jadi bisa ditekan lagi. Sebab, pengeluaran untuk pembelian pulsa listrik PLN oleh pengelola akan berkurang,” jelas dia.

Cerita serupa warga di Karanganyar

Warga RT 007/RW 001 Dusun Duglig, Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng), Makhuri (70) saat menunjukkan keberadaan kompor khusus yang memanfaatkan gas rawa sebagai bahan bakarnya, Kamis (22/6/2023). Dia mengaku sangat terbantu dengan keberadaan instalasi gas rawa karena bisa menekan pengeluaran untuk pembelian elpiji.Kompas.com/IRAWAN SAPTO ADHI Warga RT 007/RW 001 Dusun Duglig, Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng), Makhuri (70) saat menunjukkan keberadaan kompor khusus yang memanfaatkan gas rawa sebagai bahan bakarnya, Kamis (22/6/2023). Dia mengaku sangat terbantu dengan keberadaan instalasi gas rawa karena bisa menekan pengeluaran untuk pembelian elpiji.
Tak jauh berbeda dengan warga Desa Bantar di Banjarnegara, warga Desa Krendowahono di Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, juga mengaku sangat terbantu dengan keberadaaan instalasi gas rawa di wilayah mereka.

Salah satunya diungkapkan oleh Sulistyanto (42). Dia mengatakan, dengan adanya gas rawa ini, rata-rata warga di Kampung Dukuh, Desa Krendowahono jadi bisa berhemat.

Sebab, warga tak perlu lagi membeli elpiji sebanyak dulu untuk mencukupi kebutuhan energi sehari-hari. Dia menyaksikan, beberapa warga bahkan ada yang sama sekali lepas dari elpiji.

Sementara, untuk bisa memanfaatkan gas rawa, masing-masing rumah hanya dikenai iuran Rp 20.000 per bulan.

Baca juga: Akselerasi Transisi Energi dengan Interkoneksi Jaringan dan Teknologi Penyimpanan

“Sebelum ada gas rawa, saya sendiri bisa pakai gas melon 3-4 tabung per bulan. Sedangkan setahun ini, saya paling cuma butuh beli 1 tabung elpiji untuk jadi cadangan,” ungkap dia.

Sulistyanto merasa tetap perlu membeli gas elpiji karena gas rawa tidak dialirkan ke rumahnya selama 24 jam penuh. Dia menyadari hal itu karena mesin-mesin di instalasi gas rawa jelas butuh juga “istirahat” agar tidak mudah rusak.

Gas elpiji baru akan digunakan Sulistyanto atau keluarganya jika ada kebutuhan memasak di luar jam operasional gas rawa pada malam hari. Gas melon terkadang juga diperlukan ketika mereka perlu memasak lebih banyak dan cepat.

Sama seperti di Desa Bantar, Banjarnegara, instalasi gas rawa di Desa Krendowahono disediakan juga oleh Dinas ESDM dengan alokasi dana sekitar Rp 200 juta. Bedanya, penyediaan instalasi di Krendowahono baru dilakukan pada tahun lalu.

Kades Krendowahono, Arief Hidayat, menyampaikan terdapat 30 rumah di desanya yang telah menikmati jaringan pipa gas rawa.

Sampai saat ini, dia mengaku, belum memiliki rencana untuk mendorong penambahan jumlah penerima manfaat energi alternatif tersebut karena ingin mengoptimalkan yang ada.

Baca juga: Stakeholder Sektor Bangunan Didorong Bikin Terobosan Proyek Efisiensi Energi

“Kami masih mau melihat kendala apa yang sering terjadi di lapangan untuk dicari solusinya. Ya, satu-dua tahun seperti ini dulu lah. Kami tidak mau buru-buru (menambah) karena takutnya di tengah jalan malah berhenti. Jadi rugi semua,” ujar Arief.

Arief mengatakan, sumber gas rawa di desanya ditemukan di tanah milik warga Kampung Dukuh bernama Sholikin. Instalasi gas rawa kemudian dibangun di dekatnya dan dikelola oleh Pokmas sekitar.

Saat dimintai informasi, Sholikin berkisah, sumber gas rawa ditemukan secara tidak sengaja pada 2019. Saat itu dirinya sedang berupaya membuat sumur bor dengan bantuan Baznas.

Setelah mengebor tanah di beberapa lokasi dengan kedalaman hingga 120 meter, dia lagi-lagi hanya mendapatkan air asin. Kemudian, pada suatu malam, ada warga yang iseng menyalakan korek api di dekat sumur saat airnya sedang surut.

“Dari situ, kami kaget, tiba-tiba api langsung menyambar,” kata Sholikin yang juga menjadi ketua RT 006/RW 001 di Kampung Dukuh.

Kabar sumur dengan air yang bisa menyala di pekarangan rumahnya kemudian dengan cepat menyebar ke telinga masyarakat.

Baca juga: Olimpiade Paris 2024 Dijanjikan Paling Ramah Lingkungan, Ini Alasannya

Banyak orang tertarik mengunjungi rumahnya. Sumur api juga sempat viral di media sosial. Khawatir membahayakan, sumur lantas diberi garis polisi oleh aparat.

Selang beberapa saat, Dinas ESDM Jateng kemudian menerjunkan tim untuk meneliti fenomena sumur api di kampungnya. Baru pada 2022, Pemprov lantas membangunkan instalasi gas rawa untuk dipakai warga.

Sebelum dibangun instalasi, Sholikin mengaku sempat memasang tungku sederhana di lokasi sumber gas rawa. Di atasnya bisa diletakkan wajah atau panci untuk memasak.

Kini, keluarganya tak perlu lagi membawa peralatan masak ke pekarangan. Kompor di dapur rumah mereka pasalnya sekarang sudah dilengkapi dengan instalasi pipa sepanjang lebih kurang 25 meter yang tersambung ke sumber gas rawa.

Berarti terhitung ada lebih dari tiga tahun keluarga Sholikhin telah mengurangi pengeluaran bulanan berkat temuan gas rawa. Mereka nyaris tak perlu lagi membeli gas elpiji.

“Kalau dulu (di sumber), warna apinya oranye kemerahan. Sekarang lain, apinya (di kompor) berwarna biru dengan tekanan gas cukup besar. Ini lebih panas,” jelas dia.

Hanya, gas rawa di Krendowahono baru digunakan warga untuk keperluan memasak sehari-hari. Belum ada warga yang memanfaatkannya untuk usaha kecil guna menambah pendapatan keluarga.

Meningkatkan perekonomian masyarakat

Kepala Bidang (Kabid) Energi Baru dan Terbarukan Dinas ESDM Jateng, Eni Lestari. Dia menjelaskan pada Selasa (4/7/2023), total potensi BSG yang diketahui di Jawa Tengah adalah sekitar 14,47 juta SCF (Standart Cubic Feet). Jumlah itu, menurut dia, terbilang cukup besar.Dokumen Pribadi Kepala Bidang (Kabid) Energi Baru dan Terbarukan Dinas ESDM Jateng, Eni Lestari. Dia menjelaskan pada Selasa (4/7/2023), total potensi BSG yang diketahui di Jawa Tengah adalah sekitar 14,47 juta SCF (Standart Cubic Feet). Jumlah itu, menurut dia, terbilang cukup besar.
Plt. Kepala Dinas ESDPM Jateng Boedyo Darmawan menyebut, pembangunan infrastruktur instalasi perpipaan BSG di wilayah Jateng telah dilakukan oleh Pemprov sejak 2017.

Dinas ESDM Jateng berkomitmen akan mendukung pemanfaatan rembesan gas dangkal atau gas rawa ini sebagai sumber energi alternatif pengganti elpiji.

Dia menjelaskan, pemanfaatan gas rawa telah terbukti mampu menekan pengeluaran masyarakat terhadap konsumsi energi.

Gambarannya, tiap KK jadi tak perlu lagi mengeluarkan uang minimal Rp 62.000 per bulan untuk membeli elpiji. Sebaliknya, mereka hanya perlu membayar Rp 15.000-Rp 20.000 untuk iuran pemanfaatan gas rawa.

Baca juga: Material Proyek Infrastruktur IKN Dijamin 100 Persen Ramah Lingkungan

Dengan kata lain, tiap KK pengguna gas rawa bisa menghemat 32 persen dari biaya elpiji.

“Selisih pengeluaran biaya ini diharapkan dapat digunakan untuk aktivitas produktif dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat,” ungkap Boedyo, Selasa (4/7/2023).

Pemprov Jateng berharap instalasi pemanfaatan gas rawa yang telah tersedia di sejumlah daerah di Jateng dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik oleh masyarakat.

Kepala Bidang (Kabid) Energi Baru dan Terbarukan Dinas ESDM Jateng Eni Lestari menuturkan, dengan teknologi yang terus berkembang, gas rawa diharapkan dapat dikelola oleh BUMDes setempat untuk dapat meningkatkan perekonomian warga.

“Saat ini ada juga masyarakat yang sudah memanfaatkan keberadaan gas rawa untuk meningkatkan perekonomian, antara lain melalui usaha makanan,” jelas dia.

Eni mengimbau, Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna Desa (Posyantek Desa) juga perlu dikembangkan di desa dengan potensi gas rawa.

Baca juga: Dukung Riau Hijau, MG Perkenalkan Mobil Listrik Ramah Lingkungan

“Posyantek Desa bisa menjadi wadah untuk dapat memberikan pelatihan instalasi perpipaan sehingga dapat pula membuka lapangan kerja baru bagi penduduk sekitar,” ucapnya.

Pengembangan kompetensi dalam hal pemanfaatan dan pemeliharaan instalasi gas rawa oleh BUMDes-Posyantek Desa perlu diwujudkan sebagai bentuk kemandirian dan keswadayaan masyarakat dalam mengelola potensi setempat.

“Kalau bicara pengelolaan desa mandiri energi atau berbasis potensi setempat nomor satu ya perhatikan pengelolaannya. Kami inginnya kan tetap sustain,” jelas Eni.

Sementara itu, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum berpendapat, agar pemanfaatan gas rawa berkelanjuta, lumrah jika warga pengguna mesti membayar iuran.

“Karena berupa instalasi dan digunakan bersama, tentunya diperlukan perawatan dan pengoperasian yang baik dan benar untuk memastikan alirannya stabil, komposisi sesuai, lalu bisa segera ditangani bila ada gangguan,” jelasnya.

Biaya yang muncul dari sini bisa ditarik dari masyarakat pengguna sehingga lebih berkelanjutan, jika instalasi awalnya merupakan hibah. Meski demikian, menurut dia, dimungkinkan juga proses penyediaan sampai pengelolaan instalasi sepenuhnya dilakukan oleh desa melalui BUMDes.

“Tentunya juga dengan kelembagaan dan SDM yang disiapkan dengan baik untuk bisa mengelola instalasi sebagai unit bisnis yang memadai,” pesan Citra.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com