Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/07/2023, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Juli tahun ini kemungkinan besar akan menjadi bulan terpanas sejak pencatatan dilakukan.

Dua organisasi dunia, World Meteorological Organization (WMO) dan Copernicus Climate Change Service (C3S), sama-sama sepakat bahwa sangat mungkin bahwa Juli tahun ini menjadi bulan terpanas.

Meski demikian, WMO tetap menyarankan untuk menunggu semua data telah diproses masuk pada Agustus.

Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Semakin Meningkat di Asia, Ketahanan Pangan Terganggu

Sebuah analisis dari Leipzig University Jerman yang dirilis pada Kamis (27/7/2023) menyebutkan bahwa Juli 2023 akan memecahkan rekor sebagai bulan terpanas.

Di New York, Amerika Serikat (AS), Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Kamis mengatakan, perubahan iklim sudah terjadi.

"Kita tidak perlu menunggu akhir bulan untuk mengetahui hal ini. Juli 2023 akan memecahkan rekor secara keseluruhan," kata Guterres, sebagaimana dilansir Reuters.

Guterres menuturkan, ini bukan lagi pemanasan global, akan tetapi sudah menjadi pendidihan global.

"Perubahan iklim telah terjadi. Mengerikan. Dan ini baru permulaan," imbuhnya.

Baca juga: ESG Mendorong Terciptanya Iklim Investasi yang Baik

Perbedaan besar

Suhu rata-rata Juli 2023 diproyeksikan naik 0,2 derajat celsius dibandingkan Juli 2019. Untuk diketahui, Juli 2019 memecahkan rekor sebagai bulan terpanas sejak pencatatan dilakukan 174 tahun lalu.

Ilmuwan iklim dari Leipzig University Karsten Haustein mengatakan, perbedaan antara Juli 2023 dan Juli 2019 sangatlah besar.

"Sehingga kami dapat mengatakan dengan pasti bahwa ini akan menjadi bulan Juli yang paling hangat," kata Haustein.

WMO sebelumnya juga sudah mengonfirmasi bahwa tiga minggu pertama bulan Juli memecahkan rekor sebagai kurun waktu terpanas.

Mengomentari pola tersebut, seorang ilmuwan iklim di University of Pennsylvania Michael Mann mengatakan, sudah jelas bahwa sejak pertengahan Juli, bulan ini akan menjadi bulan terpanas.

Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Gelombang Panas Jadi Lebih Ganas

Dia menambahkan, Bumi akan semakin menghangat jika manusia terus menerus membakar bahan bakar fosil.

Biasanya, suhu rata-rata global untuk bulan Juli adalah sekitar 16 derajat celsius, termasuk musim dingin di belahan Bumi Selatan.

Akan tetapi, suhu rata-rata Juli tahun ini telah melonjak menjadi sekitar 17 derajat celsius.

"Kita mungkin harus kembali ribuan bahkan puluhan ribu tahun untuk menemukan kondisi hangat yang serupa di planet kita," kata Haustein.

Catatan iklim awal, yang dikumpulkan ilmuwan dari sejumlah benda seperti inti es dan inti pohon, menunjukkan bahwa Bumi tidak pernah sepanas ini dalam 120.000 tahun.

Analisis Haustein didasarkan pada data suhu awal dan permodelan cuaca, termasuk perkiraan suhu hingga akhir bulan ini.

Baca juga: “Gerbang Dunia Lain” Makin Menganga, Perubahan Iklim Bakal Makin Buruk

Gelombang panas

Ilustrasi perubahan iklimShutterstock Ilustrasi perubahan iklim

Gelombang panas ganas yang melanda Amerika Utara, Eropa, dan China pada Juli sangatlah dipengaruhi oleh perubahan iklim akibat aktivitas manusia.

Sepanjang Juli, cuaca ekstrem memicu berbagai bencana di sejulah negara. Suhu panas yang memecahkan rekor terjadi di China, AS, dan Eropa selatan.

Suhu yang sangat panas memicu kebakaran hutan, kekeringan, dan banyak orang yang harus dilarikan ke rumah sakit karena sengatan gelombang panas.

Baca juga: Ilmuwan Iklim Peringatkan Ambang Batas 1,5 Derajat Celsius Akan Terlampaui

Menurut sebuah studi dari World Weather Attribution, peristiwa-peristiwa tersebut kecil kemungkinan terjadi jika tidak ada perubahan iklim akibat aktivitas manusia.

World Weather Attribution adalah tim ilmuwan global yang meneliti peran yang dimainkan oleh perubahan iklim dalam cuaca ekstrem, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (25/7/2023).

"Suhu (panas) di Eropa dan Amerika Utara hampir tidak mungkin terjadi tanpa efek perubahan iklim," kata Izidine Pinto dari Royal Netherlands Meteorological Institute, salah satu penulis studi tersebut.

Pinto mengatakan, suhu panas 50 kali lebih mungkin terjadi gelombang panas dan panas ekstrem bila dibandingkan masa lalu.

Baca juga: Krisis Iklim Makin Kencang, Jutaan Orang di 3 Benua Dicengkeram Panas Ganas

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau