KEMARAU dan kekeringan panjang di Indonesia saat ini penyebabnya lebih banyak dialamatkan kepada fenomena El Nino, yang membuat gerah dan membawa dampak suhu bumi meningkat.
Namun, jangan dilupakan semakin berkurangnya luas tutupan hutan di hulu daerah aliran sungai (DAS) yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Kondisi tersebut sangat berpengaruh signifikan terhadap kekeringan air di daerah hilirnya.
Bagaimana dapat terjadi?
Harian Kompas, Sabtu (5/8/2023), mewartakan bahwa ratusan desa di Jawa Tengah didera kekeringan. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng, hingga Jumat (4/8/2023), ada 114 desa di 56 kecamatan yang mengeluhkan terdampak kekeringan.
Ratusan desa itu tersebar di 18 kabupaten/kota, yakni Cilacap, Purbalingga, Purworejo, Klaten, Sukoharjo, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Demak, Temanggung, Kendal, Pemalang, Brebes, Tegal, Semarang, Kota Semarang, dan Kota Salatiga.
Mayoritas daerah yang disebut di atas pada umumnya terletak di daerah hilir DAS. Hanya Temanggung, Sokoharjo, dan Kota Salatiga letaknya di bagian tengah DAS yang melingkupinya.
Faktanya kini, luas kawasan hutan Pulau Jawa semakin mengecil karena beberapa sebab. Saat ini luasnya hanya sekitar 24 persen dari luas Pulau Jawa, yakni sekitar 129.600,71 kilometer persegi.
Dari total 24 persen, tutupan hutannya hanya sekitar 19 persen saja. Sedangkan lima persen lainnya di antaranya adalah berupa hutan rakyat, kebun raya, dan taman keragaman hayati yang memiliki fungsi seperti hutan.
Makin menyusutnya luas kawasan hutan di Pulau Jawa karena beberapa sebab di antaranya alih fungsi hutan untuk lahan pertanian, pemukiman, industri, infrastruktur, kawasan komersial.
Cukupkah kawasan hutan dan tutupan hutan seluas itu untuk melindungi ekosistem daerah-daerah di bawahnya atau di kawasan hilir?
Dalam ruang lingkup (scoping) yang lebih khusus, kekeringan yang terjadi pada musim kemarau panjang dapat dideteksi lebih mudah dengan pendekatan DAS.
Secara alami, air tawar yang jumlahnya 2,5 persen total air yang ada di planet ini berasal dari air hujan, yang masuk ke permukaan tanah, atau mengalir melalui sungai. Proses alam menguapkan kembali air menjadi air hujan. Siklus itu terus terjadi seumur bumi.
Air hujan yang masuk dalam wilayah tangkapan air (catchment area) di daerah aliran sungai ditangkap oleh hutan lalu dialirkan masuk ke dalam tanah.
Penelitian menyebutkan hutan berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah. Sementara, hutan dengan pohon berdaun lebar mampu menyerap 80 persen air hujan.
Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis-lapis strata tajuknya, maka makin tinggi pula air hujan yang terserap ke dalam tanah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya