WAKIL Presiden RI Ma'ruf Amin sebelumnya mengutarakan kemungkinan ada 115 pulau di Indonesia yang akan tenggelam pada 2100.
Penyebabnya dua hal, yaitu kenaikan muka air laut akibat pemanasan global dan penurunan muka tanah.
Pemanasan global merupakan krisis iklim yang dapat menjadi potensi ancaman eksistensial terhadap kemanusian dan teritori negara.
Menurut Nichols dan Mimura (1998), kenaikan muka air laut secara umum yang terjadi dalam 100 tahun terakhir berkisar antara 10-25 cm, dan diperkirakan akan mencapai 50 cm pada tahun 2100.
Kenaikan muka air laut akibat pemanasan global paling tidak akan mempunyai implikasi pada meningkatnya kejadian erosi dan abrasi di pantai, tenggelamnya dataran rendah dan pulau-pulau kecil, meningkatnya banjir rob, dan gelombang badai, serta meningkatnya salinitas pada estuari dan akuifer di pesisir.
Nichols dan Mimura juga menyebutkan bahwa kenaikan muka air laut akan mengakibatkan beberapa negara di dunia, terutama yang mempunyai dataran rendah dan pulau-pulau kecil, kehilangan daratannya akibat tenggelam.
Indonesia yang mempunyai panjang garis pantai lebih dari 80.000 km dan jumlah pulau lebih dari 17.000 diprediksi akan terdampak serius.
Dengan kenaikan skenario kenaikan muka air laut 60 cm, diperkirakan Indonesia akan kehilangan daratan hingga 34.000 kilometer per segi, atau hampir 2 persen total luasan daratan kita.
Sedangkan Belanda dengan skenario 100 cm kenaikan muka air laut, pada 2100 akan kehilangan 2.165 kilometer per segi atau 6,7 persen total luas negaranya.
Data lain, Jerman dengan skenario yang sama akan kehilangan 13.900 kilometer per segi atau 3,9 persen, Nigeria akan kehilangan 18.000 kilometer per segi atau 2 persen, Bangladesh akan kehilangan 29.846 kilometer per segi atau 20,7 persen, dan Vietnam akan kehilangan 40.000 kilometer per segi atau 12,1 persen.
Tentu hal ini akan terjadi apabila tidak ada langkah-langkah antisipasi dan mitigasi, baik secara nasional maupun kemitraan internasional.
Monitoring, penyusunan skenario dan pemodelan dapat dilakukan sebagai bagian dari langkah-langkah pengambilan kebijakan terkait dengan dampak perubahan iklim.
Data dan informasi geospasial dalam bentuk citra satelit, digital elevation model, jaring kontrol geodesi, data pasang surut dan titik referensi dapat digunakan untuk membantu monitoring dan penyusunan model skenario dampak perubahan iklim.
Saat ini, Badan Informasi Geospasial (BIG) mengelola kurang lebih 300 stasiun pasang surut di Indonesia yang datanya dapat diakses secara real time.
Data pasang surut ini fungsi utamanya sebagai bagian dari sistem jaring kontrol geodesi dalam pembuatan peta dasar di Indonesia. Data ini juga dapat digunakan untuk membantu monitoring kenaikan muka air laut dari waktu ke waktu.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya