Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Polemik Tambang dalam Kawasan Hutan Lindung

Kompas.com - 13/08/2023, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hutan lindung bersama dengan kawasan bergambut dan kawasan resapan air; masuk dalam kawasan lindung dengan kriteria kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya.

Lain halnya dengan kawasan hutan produksi yang dalam UU No. 26/2007 masuk dalam kawasan budidaya yang dampak lingkungannya tidak signifikan dibanding dengan kawasan lindung apabila terjadi kerusakan lingkungan.

Kenapa kegiatan pertambangan diizinkan dilakukan di hutan lindung?

Dukungan regulasi dan polemik dalam hutan lindung

Dalam UU No.5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, tidak disebutkan secara tersurat (eksplisit) bahwa kegiatan pertambangan dapat diizinkan dilakukan dalam kawasan hutan.

Baru pada UU No. 41/1999 tentang kehutanan, secara tersurat dalam pasal 38 ayat (1) disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Kegiatan pembangunan nonkehutanan yang dimaksud adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jalan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

Begitu strategisnya kegiatan pertambangan di kawasan hutan dalam memberikan dan menyumbang pendapatan negara, sampai–sampai pada 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menganulir UU No. 41/1999 dengan Perpu Nomor 1/2004 pada 11 Maret 2004, untuk menyelesaikan tumpang-tindih areal pertambangan dengan hutan lindung sekaligus mengakomodasi izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya.

Perpu ini dibuat dalam rangka memberi kepastian kepada investor karena pada 2004 merupakan tahun investasi.

Perpu tersebut menambah ketentuan baru dalam UU 41/1999, terutama pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU 41/1999, tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Dari UU No. 41/1999 diturunkan dalam peraturan pemerintah (PP) No. 24/2010 tentang penggunaan kawasan hutan dan diatur dalam pasal 5 ayat (1b) yang menyebut bahwa dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: 1) turunnya permukaan tanah; 2) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan 3) terjadinya kerusakan akuiver air tanah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan bawah tanah pada hutan lindung diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 28/2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah.

Dalam Perpres ini dijelaskan bahwa penambangan bawah tanah di hutan lindung adalah penambangan yang kegiatannya dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar) dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adit) termasuk sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan produksi di hutan lindung.

Yang menarik dalam Perpres yang ditandatangani Presiden SBY adalah pasal 6 ayat (5) yang menyebutkan bahwa dalam hal pemohon yang mendapat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan lindung dengan kompensasi lahan bagi pinjam pakai kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 persen (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau, menyediakan dan menyerahkan kompensasi lahan dengan ratio paling sedikit 1:2.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com