Ketentuan ini juga diulang dan dipertegas kembali dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. P. 27/2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan dalam pasal 5 ayat (2).
Sayangnya, dalam PP No. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan yang merupakan turunan UU no. 11/2020 tentang Cipta kerja bidang kehutanan; ketentutan lahan pengganti sebagai kompensasi dari provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 persen (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau dengan ratio paling sedikit 1: 2, nampaknya dihapus dan ditiadakan.
Ketentuan itu diganti dengan hanya membayar PNBP kompensasi, bagi pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya.
Penggantian lahan kompensasi dengan PNBP kompensasi pada kegiatan penambangan bawah tanah di hutan lindung oleh para pihak dan pengamat lingkungan dituding tidak adil dan tidak pro lingkungan.
Polemik yang terjadi adalah kenapa lahan kompensasi dihargai terlalu murah dengan PNBP pengganti yang hitung-hitungan ekonomis tidak seberapa jumlahnya.
Pertanyaan berbagai kalangan tersebut sampai saat ini belum dapat dijawab secara memuaskan oleh KLHK.
Mengutip data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK periode tahun 1984-2020, luas IPPKH pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah sejak orde baru seluas 529.966 hektar.
Rinciannya era Soeharto 53.101 ha, era Habibie 21.196 ha, era Gus Dur 32.110 ha, era Megawati 1.474 ha, era SBY 305.070 ha, dan era Jokowi 11.106 ha.
Tidak diperinci dengan jelas berapa luas tambang yang berada di kawasan hutan lindung dan berapa luas tambang yang berada di kawasan hutan produksi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya