KOMPAS.com – Di tengah upaya menurunkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil untuk membatasi perubahan iklim, subsidi yang dikucurkan untuk energi tersebut secara global justru memecahkan rekor pada 2022.
International Monetary Fund (IMF) melaporkan bahwa subsidi yang digelontorkan untuk “mempermurah” bahan bakar fosil mencapai 7 triliun dollar AS atau sekitar Rp 107 kuadriliun pada tahun lalu di seluruh dunia.
Laporan tersebut muncul ketika ancaman perubahan iklim semakin nyata dan Organisasi Meteorologi Dunia atau WMO melaporkan bahwa Juli tahun ini adalah bulan terpanas sejak pencatatan dilakukan.
Baca juga: Pembangkit Listrik EBT Baru Naik 91 MW, Energi Fosil Bertambah 900 MW
Di satu sisi, dunia juga sedang berusaha membatasi kenaikan suhu global di atas 1,5 derajat celsius sesuai Perjanjian Paris.
Besarnya subsidi tersebut diberikan untuk memangkas harga bahan bakar di level konsumen dan dunia usaha saat harga energi melambung karena invasi Rusia ke Ukraina serta pemulihan ekonomi global dari pandemi.
IMF menyebutkan, jumlah subsidi yang dikeluarkan untuk bahan bakar fosil tahun lalu lebih besar daripada pengeluaran pemerintah di seluruh dunia setiap tahunnya untuk pendidikan yakni 4,3 persen dari pendapatan global.
Subsidi tersebut juga sekitar dua pertiga dari pengeluaran pemerintah di dunia untuk layanan kesehatan yaitu 10,9 persen.
“Subsidi minyak, batu bara, dan gas alam menyebabkan kerugian yang setara dengan 7,1 persen produk domestik bruto (PDB) global,” tulis para ekonom IMF dalam rilisnya, Kamis (24/8/2023).
Baca juga: Energi Terbarukan Dianggap Gagal Menggeser Dominasi Bahan Bakar Fosil
Selama dua tahun terakhir, subsidi untuk bahan bakar fosil meningkat sebesar 2 triliun dollar AS atau sekitar Rp 30 kuadriliun.
“Mengonsumsi bahan bakar fosil menimbulkan kerugian lingkungan yang sangat besar—terutama akibat polusi udara lokal dan kerusakan akibat pemanasan global,” tulis mereka.
“Sebagian besar subsidi bersifat implisit, karena dampak lingkungan seringkali dihitung dalam harga bahan bakar fosil, terutama batu bara dan solar,” sambung mereka.
Subsidi implisit ini diproyeksikan akan meningkat ketika negara-negara berkembang meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil ke tingkat konsumsi negara-negara maju.
Negara-negara berkembang cenderung memiliki pembangkit listrik, pabrik, dan kendaraan dengan tingkat polusi yang lebih tinggi.
Baca juga: Kali Pertama, Investasi Energi Bersih 2023 Bakal Lampaui Minyak Fosil
Di negara-negara tersebut, populasi terpusat dan bekerja di dekat sumber polusi tersebut.
Di satu sisi, jika pemerintah menghapuskan subsidi eksplisit dan menerapkan pajak korektif, harga bahan bakar fosil akan meningkat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya