JAKARTA, KOMPAS.com - Pertumbuhan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 266 GigaWatt (GW) ternyata belum mampu mengurangi dominasi bahan bakar fosil pada tahun 2022.
Laporan Statistical Review of World Energy mengungkapkan, EBT dianggap gagal menggeser dominasi bahan bakar fosil, meskipun ada pertumbuhan besar dalam kapasitas energi tenaga angin dan matahari.
Kendati permintaan energi global naik hanya satu persen tahun lalu, namun 82 persen dari total pasokan disediakan oleh pembangkit minyak dan gas.
Presiden Badan Industri Global dari Energy Institute Juliet Davenport mengatakan, pertumbuhan energi angin dan matahari memang semakin kuat di sektor listrik.
"Namun, emisi gas rumah kaca terkait energi global secara keseluruhan meningkat lagi," kata Juliet, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (29/6/2023).
Baca juga: Akselerasi Transisi Energi dengan Interkoneksi Jaringan dan Teknologi Penyimpanan
Menurutnya, dunia masih menuju arah yang berlawanan dengan yang disyaratkan dalam Paris Agreement.
Betapa tidak, bahan bakar fosil masih mendominasi pasokan energi. Gejolak di pasar energi yang terjadi setelah invasi Rusia ke Ukraina, membantu mendorong harga gas dan batu bara ke level rekor tertinggi di Eropa dan Asia.
Meski terjadi gejolak, permintaan energi meningkat. Permintaan energi primer global tumbuh sekitar 1 persen, melambat dari tahun sebelumnya sebesar 5,5 persen, tetapi permintaan masih sekitar 3 persen di atas tingkat sebelum virus corona pada 2019.
Keunggulan produk minyak, gas, dan batu bara yang membandel dalam memenuhi sebagian besar permintaan energi semakin menguat.
Baca juga: Cegah Kenaikan 1,5 Derajat Celsius, Energi Terbarukan Harus Meningkat 3 Kali Lipat Per Tahun
EBT, tidak termasuk tenaga air, menyumbang 7,5 persen dari konsumsi energi global, sekitar 1 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Sedangkan konsumsi minyak naik 2,9 juta barel per hari menjadi 97,3 juta barel per hari. Namun, tren keseluruhan sedikit menurun, dengan konsumsi minyak turun 0,7 persen pada level sebelum Covid-19.
Apa arti pertumbuhan bahan bakar fosil bagi iklim? Ketergantungan kita yang berkelanjutan pada bahan bakar fosil merupakan ancaman besar bagi lingkungan.
Para ilmuwan mengatakan, dunia perlu mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 43 persen pada tahun 2030 dari tingkat 2019 untuk memiliki harapan memenuhi tujuan internasional Paris Agreement demi menjaga pemanasan jauh di bawah 2 derajat celcius di atas tingkat pra-industri.
Baca juga: Bumikan Transisi Energi, IESR Luncurkan Pembelajaran Lewat Website
Ekstraksi dan konsumsi bahan bakar fosil adalah penyebab terbesar pemanasan global.
Untuk membatasi kenaikan suhu yang disebabkan oleh perubahan iklim, masyarakat harus melakukan dekarbonisasi dengan cepat.
Namun tahun lalu, subsidi untuk minyak dan gas fosil malah melonjak. Pemerintah negara-negara dunia membelanjakan lebih dari 900 euro miliar untuk subsidi bahan bakar fosil pada tahun 2022, angka tertinggi yang pernah tercatat statistik selama ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya