KOMPAS.com – Biaya sistem ketenagalistrikan dan investasi di Indonesia dinilai masih berada di atas harga yang ditetapkan oleh pasar internasional.
Hal itu menyebabkan keekonomian pembangunan energi terbarukan di Indonesia menjadi tidak menarik sehingga pengembangannya jadi tersendat.
Hal tersebut disampaikan Senior Advisor Programme Manager International Energy Agency (IEA) Michael Waldron dalam hari kedua Indonesia Energy Transition Dialogue 2023, Selasa (19/9/23).
Baca juga: PLN dan SIG Sepakat Teken MoU Dorong Penggunaan Energi Bersih
Indonesia Energy Transition Dialogue 2023 digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Waldron mendorong agar Indonesia menurunkan harga melalui reformasi kontrak dan operasional dalam sistem tenaga listrik untuk menarik lebih banyak investasi serta membangun integrasi jaringan listrik antarpulau.
Pembangunan jaringan listrik antarpulau penting bagi Indonesia untuk menghubungkan sumber energi terbarukan dengan pusat beban atau permintaan energi.
Reformasi kontrak dan operasional juga dirasa perlu menyasar pembangkit listrik konvensional, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Baca juga: Komitmen Indonesia terhadap Transisi Energi Pengaruhi Peluang Pembiayaan
Menurutnya, kemajuan interkoneksi di ASEAN serta pengoperasian sistem energi yang fleksibel di Indonesia akan mempercepat penurunan emisi dan meningkatkan penghematan biaya.
“Sistem energi Indonesia dapat mempersiapkan porsi energi terbarukan yang lebih besar melalui penerapan kontrak baru, memberikan insentif untuk investasi di jaringan listrik, mengembangkan strategi fleksibilitas sistem, serta mengadaptasi perencanaan dan operasi jaringan listrik untuk memaksimalkan porsi variasi energi terbarukan dan menetapkan visi untuk jaringan listrik pintar,” ungkap Waldron.
Selain itu, Indonesia didorong melakukan reformasi dalam sistem ketenagalistrikan yang mampu mengintegrasikan energi terbarukan, terutama surya dan angin atau bayu atau yang dikenal sebagai variable renewable energy (VRE).
Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebutkan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam mereformasi sistem ketenagalistrikan.
Baca juga: Kampanye Kendaraan Listrik Jalan Terus, Energi Terbarukan Jalan di Tempat
Pertama, insentif bagi pemain yang terlibat di dalam pengoperasian sistem tenaga listrik yang fleksibel.
Kedua, transparansi di dalam proses pengadaan, baik itu pembangkit energi terbarukan maupun infrastruktur jaringan.
Ketiga, reformasi regulasi yang dapat mengakomodasi pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel serta mendorong adopsi energi terbarukan yang lebih besar.
Baca juga: Transisi Energi Harus Adil dan Bermanfaat untuk Rakyat Indonesia
Waldron mengenalkan enam tahapan integrasi VRE di dalam sistem ketenagalistrikan. Menurut Michael, bauran VRE Indonesia saat ini masih berada di bawah 1 persen dan berada di dalam tahap satu dari integrasi VRE.
Hal ini berarti pengoperasian VRE masih memberikan dampak yang sangat minor terhadap sistem ketenagalistrikan, sebagaimana dilansir dari siaran pers IESR.
Perencanaan ke depan perlu tetap mempertimbangkan bauran VRE yang lebih tinggi, apalagi biaya pembangkitan VRE memiliki tren yang semakin menurun selama satu dekade terakhir.
Baca juga: Manfaatkan Energi Terbarukan, UII Gandeng SUN Energy Bangun PLTS 572 Ribu KWh
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya