KOMPAS.com – Minyak jelantah tengah dikembangkan sebagai bahan bakar pesawat yang berkelanjutan atau sustainable aviation fuel (SAF) di dunia.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika sesuai melepas ekspor perdana minyak jelantah tertelusur di Jakarta, Kamis (20/9/2023).
Dia mengungkapkan, minyak jelantah merupakan bahan mentah yang memiliki nilai tambah, terutama untuk dijadikan sebagai bahan bakar.
Baca juga: Tak Kalah dengan Asing, Pesawat N219 Uji Coba di Landasan Tak Beraspal
Di Indonesia, Putu mengakui pengolahan minyak jelantah masih terus dikembangkan. Dia memastikan, pemerintah terus mendorong pemanfaatan dan pengolahan minyak jelantah menjadi bahan baku industri yang potensial.
“Sekarang greenfuel (bahan bakar hijau) di Indonesia baru dalam penjajakan untuk industri pesawat terbang,” ungkap Putu, sebagaimana dilansir Antara.
Putu menyebut minyak jelantah sebagai bagian dari industri oleokimia punya potensi besar sebagai biomaterial untuk menggantikan minyak-minyak yang tidak terbarukan.
Meski berpotensi memenuhi kebutuhan pasar global yang tinggi, pasokan minyak jelantah masih menghadapi tantangan.
Baca juga: Dampak Industri Penerbangan Terhadap Lingkungan
Putu menyebut, recovery rate atau tingkat pengumpulan minyak jelantah masih rendah yakni hanya sekitar 8 persen. Padahal penggunaan minyak goreng di tingkat rumah tangga sangat tinggi.
Putu berharap, adanya Sistem Informasi Minyak Jelantah (Simijel) dapat meningkatkan recovery rate sehingga pasokan minyak jelantah bisa diolah dengan lebih masif di dalam negeri.
“Maka, untuk masyarakat (rumah tangga) masih coba kita dorong karena dia dibuang percuma dan tidak bersahabat dengan lingkungan,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Exportir Minyak Jelantah Indonesia (AEMJI) Setiady Goenawan mengatakan, Simijel merupakan sistem yang dikembangkan asosiasi tersebut.
Baca juga: Menyusul Belanda, Perancis Bakal Larang Penerbangan Jet Pribadi
Dia menargetkan, Simijel dapat mendongkrak recovery rate dari 8 persen menjadi 20 persen pada akhir 2024 nanti.
Setiady menuturkan, Simijel berfungi untuk meningkatkan daya tarik Indonesia untuk investasi SAF dari minyak jelantah.
“Makanya perlu ditingkatkan recovery rate minyak jelantah investasi SAF bisa lebih menarik,” tutur Setiady.
Minyak jelantah yang memiliki ketertelusuran asal-usul saat ini menjadi standar baru penerimaan produk tersebut di pasar Eropa dan AS.
Baca juga: Permintaan Bahan Bakar Pesawat dari Lemak Babi Melesat 3 Kali Lipat
Pasalnya, greenfuel yang dihasilkan dari minyak jelantah yang tertelusur mempunyai emisi karbon sangat rendah yang berasal dari implementasi prinsip ekonomi sirkular yaitu from waste to energy.
Aspek ketertelusuran pun menjadi prasyarat karena pembeli membutuhkan jaminan asal-usul minyak jelantah harus betul-betul berasal dari titik produksi minyak jelantah.
Bukan campuran minyak segar atau minyak-minyak lain dan atau berasal dari sumber minyak jelantah yang ilegal.
Baca juga: Cara Coldplay Wujudkan Konser Ramah Lingkungan: Pasang Panel Surya hingga Pakai Pesawat Carter
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya