Ketiga, sebuah DAS hulu dan tengah perlu waspada jika intensitas hujan harian di atas 200 milimeter per hari.
Seperti yang terjadi di Jakarta. Hujan lebat membuat banjir berhari-hari melanda selama awal tahun 2020.
Keempat, regulasi manajemen DAS. UU Nomor 26/2007 tentang penataan ruang telah mengatur kawasan lindung. Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah:
Peraturan Pemerintah Nomor 37/2012 juga mengatur tentang pemulihan DAS dan mempertahankan daya dukungnya DAS yang tidak berfungsi maupun berfungsi sebagaimana mestinya.
Kelima, semua ketentuan butir keempat jauh panggang dari api. Kawasan lindung yang diharapkan sebagai kawasan penjaga keutuhan dan kelestarian lingkungan hidup dan kawasan pada umumnya hanya kuat di tataran regulasi dan di atas kertas.
Belakangan peraturan turunannya malah makin jauh dari aspek perlindungan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7/2019 tentang perubahan atas peraturan 27/2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang membolehkan IPPKH pada izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem (IUPPHK-RE) untuk kegiatan jalan angkut produksi pertambangan.
Bahkan terakhir Peraturan Menteri LHK Nomor 24/2020 tentang food estate di kawasan hutan lindung.
Dengan melihat problem-problem itu kita tahu solusinya. Manajemen DAS menjadi krusial. Tidak hanya di hulu, juga di tengah, dan hilir.
Salah satunya melalui penanaman pohon. Rehabilitasi lahan salah satu cara yang baik dalam meningkatkan kemampuan DAS menangkap air agar tak melimpas ke daerah di bawahnya yang kita sebut bencana banjir.
Musim hujan adalah musim menabung air. Tabungan paling bagus adalah hutan sebagai penyerap alamiah air yang bisa menyeimbangkan neraca air. Karena itu hutan menjadi celengan alami dalam menabung air.
Waduk adalah tabungan air yang dibuat manusia. Karena itu, neraca air akan terganggu jika hutan menjadi rusak atau dikonversi menjadi bukan hutan.
Alam sudah punya keseimbangannya sendiri. Maka menyalahkan curah hujan yang menjadi penyebab bencana hidrometeorologi seperti banjir, kurang bijaksana. Curah hujan adalah faktor tetap (konstanta) yang tidak dapat diubah oleh manusia.
Yang dapat diubah adalah faktor yang tidak tetap (variabel) seperti mempertahankan dan menambah tutupan hutan dalam kawasan lindung agar kemampuan hutan menabung dan menyimpan air menjadi lebih besar dan meningkat.
Dari 120,3 juta hektare atau lebih dari 60 persen luas daratan Indonesia, wilayah yang masih tertutup hutan seluas 86,9 juta hektare. Sisanya 33,4 juta hektare berupa lahan terbuka, semak belukar, dan tanah telantar.
Menurut The State of Indonesia's Forest 2020, dari 86,9 juta hektare yang masih punya kawasan lindung, hanya 41,4 juta hektare, yang terdiri dari 17,4 juta hektare hutan lindung dan 24 juta hektare hutan konservasi.
Secara de facto pula, kawasan hutan yang masih bisa diharapkan dan berfungsi sebagai tabungan air hujan yang mampu menyeimbangkan neraca air tersisa 41,4 juta hektare atau 21,7 persen luas daratan Indonesia, berupa kawasan lindung. Batas aman kawasan lindung sebuah pulau adalah 30 persen.
Sementara itu, wadah atau celengan air hujan buatan manusia seperti waduk/bendungan, embung, danau/situ buatan juga sudah dibangun masih belum cukup.
Sejak 2014 hingga kini telah dibangun bendungan yang sudah diresmikan sebanyak 29 bendungan dan tahun ini akan selesai lagi 38 bendungan dengan target sampai 2024 lebih dari 61 bendungan.
Menabung air hujan juga sangat cocok untuk daerah yang bulan hujannya sedikit (kering). Namun, wadah tabungan air hujan yang paling efektif sebagai penyeimbang neraca air adalah wadah alami berupa kawasan lindung dalam kawasan hutan (hutan lindung dan hutan konservasi) dibanding dengan wadah air hujan buatan seperti bendungan dan embung berapa pun jumlahnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya