KOMPAS.com – Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, Bursa Karbon Indonesia yang diluncurkan pada 26 September 2023 tidak boleh menjadi praktik greenwashing.
Dengan peluncuran Bursa Karbon Indonesia tersebut, perdagangan karbon di Indonesia secara resmi dimulai.
Greenwashing adalah strategi pemasaran dan komunikasi untuk memberikan citra yang ramah lingkungan akan tetapi palsu belaka.
Baca juga: Indonesia Dapat Hibah Rp 514 Miliar untuk Pembangunan Rendah Karbon
Deputi Direktur Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto mengatakan, ada tujuh hal yang harus diperhatikan agar perdagangan karbon tidak menjadi praktik greenwashing.
Pertama, semua negara, termasuk Indonesia, harus meningkatkan ambisi kontribusi nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) agar selaras dengan Perjanjian Paris yakni mencegah kenaikan suhu Bumi di atas 1,5 derajat celsius.
Kedua, perlu ada penetapan batas atas emisi gas rumah kaca (GRK) yang ketat dan transparan. Saat ini, baru pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang dikenai batas atas emisi.
“Penetapan kewajiban pengurangan emisi GRK kepada pelaku usaha di sektor kehutanan juga perlu dipertegas karena pelaku usaha menguasai hutan dan lahan dalam jumlah besar,” kata Giorgio dalam siaran pers dari Madani Berkelanjutan.
Baca juga: Jejaring Organisasi Masyarakat Sipil Serukan Tolak Perdagangan Karbon
Ketiga, offset atau penyeimbang karbon harus dibatasi hanya untuk emisi residual, yaitu emisi yang masih tersisa setelah pencemar melakukan aksi penurunan emisi GRK secara optimal.
Tanpa pembatasan ini, skema offset justru berisiko menjadi insentif yang sesat jalan, yang dapat menghambat pelaksanaan aksi mitigasi yang ambisius.
Keempat, aturan perdagangan karbon perlu memastikan integritas sosial dan lingkungan, termasuk nilai tambah, keandalan, dan kelestarian.
Kelima, hindari kredit offset emisi di sektor energi dengan sektor hutan dan lahan karena berbagai masalah terkait integritas yang belum terselesaikan.
Baca juga: Siap Melantai di Bursa Karbon, PLN Buka 1 Juta Ton CO2
“Pengaturan kerangka pengaman sosial dan lingkungan yang diserahkan pada berbagai standar nasional dan internasional yang ada juga perlu diperjelas,” tutur Giorgio.
Keenam, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam keseluruhan rantai perdagangan karbon, mulai dari penyusunan peta jalan perdagangan karbon, perizinan proyek karbon, pengalokasian batas atas emisi, hingga penyelenggaraan bursa karbon itu sendiri.
Ketujuh, membangun ketahanan atau resiliensi ekosistem dan masyarakat. Pasalnya, hutan dan ekosistem sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menyampaikan, tanpa perubahan sistemik, bursa karbon berpotensi menjadi sarana mencari keuntungan semata tanpa berkontribusi pada penyelamatan umat manusia dari perubahan iklim.
Baca juga: Kredit Karbon dan Masa Depan Bisnis Berkelanjutan
Dia menuturkan, dampak perubahan iklim sudah tidak terhindarkan. Tindakan mitigasi dan adaptasi secara simultan serta mendalam bukanlah pilihan melainkan sebuah tindakan wajib.
Nadia menambahkan, Indonesia sebagai negara kepulauan merasakan dampak signifikan dari krisis iklim.
“Terutama pada masyarakat yang tergolong sebagai kelompok rentan seperti kelompok miskin, penyandang disabilitas, anak-anak, lansia, perempuan, masyarakat adat dan lokal,” tutur Nadia.
Selain itu, kelompok rentan yang terdampak adalah masyarakat yang berada di wilayah yang terdampak bencana iklim seperti kekeringan, banjir, angin ribut, naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan, kebakaran lahan, dan lain sebagainya.
Baca juga: Satu Dekade, Investasi Kredit Karbon Dunia Tembus Rp 557 Triliun
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya