Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/10/2023, 18:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Ketegangan geopolitik antarsejumlah negara di dunia mengancam upaya perlawanan perubahan iklim yang semakin parah.

International Energy Agency (IEA) mendesak negara-negara di dunia untuk mengesampingkan ketegangan geopolitik dan bersatu untuk bekerja sama dengan kuat untuk kemajuan perjuangan melawan perubahan iklim.

Dalam pertemuan iklim dan energi internasional di Madrid Spanyol, Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol menyampaikan, target untuk mencapai Perjanjian Paris saat ini masih menghadapi tantangan.

Baca juga: Pemanasan Global Makin Parah, 216 Juta Orang Berpotensi Jadi Migran Iklim

Salah satu tantangan utamanya adalah fragmentasi geopolitik dunia yang menghambat langkah-langkah dalam upaya perlawanan perubahan iklim.

Meski investasi di bidang teknologi energi ramah lingkungan sangat besar, hal tersebut dinilai belumlah cukup.

“Kurangnya kerja sama internasional adalah masalah yang sangat besar,” kata Birol, sebagaimana dilansir CGTN, Rabu (4/10/2023).

“Kita harus menemukan cara untuk mengisolasi ketegangan geopolitik ini untuk fokus pada masalah persatuan negara-negara ini,” sambungnya.

Pertemuan tersebut digelar beberapa pekan sebelum KTT Iklim PBB COP28 digelar pada November mendatang di Uni Emirat Arab (UEA).

Baca juga: Kerangka Kerja Baru UNEP: Limbah Kimia Setara dengan Krisis Iklim

Menteri Ekologi Spanyol Teresa Ribera memprediksi, pembicaraan dalam COP28 kemungkinan besar akan sangat menantang.

Di satu sisi, dia menyampaikan bahwa kerja sama yang lebih kuat antarnegara adalah cara untuk menjawab tantangan yang ada saat ini.

“Masalah global memerlukan tanggapan global,” kata Ribera kepada para delegasi pertemuan iklim dan energi internasional di Madrid.

Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan global semakin meruncing. Invasi Rusia ke Ukraina dan persaingan AS dengan China menjadi dua contoh ketegangan yang sangat mencolok.

Ketegangan yang terjadi di dunia saat ini menimbulkan kekhawatiran bahwa agenda geopolitik akan mengesampingkan permasalahan krisis iklim.

Baca juga: Perubahan Iklim Pengaruhi Pariwisata, Wisatawan Diminta Ikut Peduli

Percepat transisi

Ribera mendesak agar komunitas internasional dalam COP28 mencapai kemajuan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mempercepa transisi energi.

Pertemuan tersebut juga merupakan kesempatan untuk mempertimbangkan komitmen nasional di setiap negara guna memenuhi tujuan Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu Bumi di atas 1,5 derajat celsius.

“Proses transisi hijau harus dipercepat, kita berpacu dengan waktu untuk mengatasi perubahan iklim,” kata Ribera.

Meski demikian, dia menyampaikan masih ada ruang untuk optimistis mengenai COP28.

Baca juga: 6 Pemuda Portugal Seret 32 Negara Eropa ke Meja Hijau, Gugat Aksi Iklim Tak Memadai

IEA, mengatakan beberapa syarat harus dipenuhi agar COP28 dianggap sukses, salah satunya menyepakati peningkatan investasi pada energi terbarukan sebesar tiga kali lipat dibandingkan saat ini.

Selain itu, menyepakati mekanisme pendanaan untuk energi ramah lingkungan di negara-negara berkembang.

Pada November 2022, KTT COP27 yang diselenggarakan di Mesir menghasilkan kesepakatan penting mengenai pendanaan untuk membantu negara-negara rentan.

Akan tetapi, belum ada kemajuan dalam penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap, yang menurut IEA merupakan hal tersebut merupakan sesuatu yang mendesak.

Baca juga: Bentuk Komite ESG, OIKN Bakal Terbitkan Obligasi Iklim Tahun 2027

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com