Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keluarga, Masyarakat, dan Pemerintah Punya Peran Penting untuk Pulihkan Anak yang Jadi Korban Kekerasan

Kompas.com - 13/10/2023, 10:11 WIB
Nur Melati Syamdani,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), mulai (1/1/2023) hingga (9/10/2023), tercatat ada 20.337 kasus kekerasan di seluruh Indonesia. Hal yang memprihatinkan adalah fakta bahwa korban kekerasan didominasi oleh anak, yakni 12.289 kasus.

Tingginya kasus kekerasan terhadap anak membuktikan bahwa pengwujudan poin 16 Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi urgensi.

Dilansir dari website Bappenas, salah satu target dari poin tersebut adalah menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak.

Baca juga: KPAI Ungkap Penyebab Tingginya Kekerasan pada Anak di Lingkungan Pendidikan

Kasus kekerasan anak merupakan pekerjaan rumah yang perlu segera diatasi, tak hanya oleh pemerintah, tapi seluruh pihak.

Namun, sebelum ikut berkontribusi dalam hal tersebut, ada baiknya mengenal empat bentuk kekerasan terhadap anak, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga sosial (penelantaran).

Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang dilakukan pada fisik anak. Hal ini ditandai adanya cedera fisik yang nampak pada bagian tubuh anak, seperti memar, luka, dan patah tulang.

Sementara itu, kekerasan psikis merupakan kekerasan yang dilakukan dengan menyakiti perasaan anak, seperti penggunaan kata-kata kasar, melontarkan ancaman, dan mempermalukan mereka di depan umum.

Baca juga: Kekerasan pada Anak Hancurkan Mental, Psikis, dan Kepercayaan Melemah

Lalu, kekerasan seksual adalah peristiwa dimana anak disiksa atau diperlakukan secara seksual untuk memuaskan nafsu seksnya.

Kemudian, kekerasan sosial merupakan kekerasan dalam bentuk penelantaran dan eksploitasi anak. Hal ini dapat berupa tidak memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, rasa aman, dan meminta anak bekerja untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga.

Pada dasarnya, setiap anak memiliki hak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014 pasal 4. Begini bunyinya.

“Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi,”

Baca juga: Medsos Disebut sebagai Faktor Penyebab Kasus Kekerasan pada Anak di Surabaya

Dilansir dari Kompas.id (24/7/2023), pada 2022, kekerasan terhadap anak (KtA) terbanyak terjadi di sekolah. Sebanyak 36,68 persen anak mengalami kekerasan seksual, 26,11 persen anak mengalami kekerasan psikis, dan 25 persen anak mengalami kekerasan fisik di sekolah.

KPPPA pada 2022 menyebut bahwa pelaku kekerasan terhadap anak sebagian besar adalah orang-orang terdekat, antara lain guru 34,74 persen dan teman dekat 27,39 persen.

Hal yang patut menjadi fokus adalah kenyataan bahwa orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pelaku kekerasan. Padahal, tindakan kekerasan dapat berpengaruh pada kesehatan mental, fisik, dan prestasi anak di sekolah. Dampak mental yang terjadi dapat berupa stres, depresi, dan bunuh diri.

Ketika kekerasan tersebut terjadi, pada dasarnya tak hanya korban yang mendapat akibat, tetapi juga pelaku dan yang melihatnya. Misalnya, korban akan merasa malu dan jarang ke sekolah sehingga prestasi akademik dapat menurun.

Baca juga: LPAI: Satu Tahun Terakhir Tren Kasus Kekerasan pada Anak di Jateng Naik

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau