Para politisi mengkritik pemerintah di titik ini karena mereka menganggap pertimbangan ekonomi lebih dominan dibanding lingkungan.
Soalnya, PP 105 Tahun 2015 menyebutkan bahwa aktivitas nonkehutanan selain harus punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) juga wajib menyerahkan lahan kompensasi. Untuk pertambangan, lahan kompensasinya dua kali lipat dari luas lahan pinjam pakai.
Dalam PP 23/2021, IPPKH diubah menjadi persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Di aturan baru ini, pengusaha diberi pilihan: sediakan lahan kompensasi atau bayar PNBP kompensasi plus PNBP penggunaan kawasan hutan.
Ketua Komisi IV bidang pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan DPR RI menilai PNBP kompensasi mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat.
Menurut dia, penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari.
Karena izin pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk keperluan lain harus diperjelas dan dipertegas, bahkan dihentikan karena alih fungsi hutan lindung dalam skala luas akan mengancam kelestarian kawasan hutan.
Pemulihan kawasan hutan lindung, termasuk rehabilitasi dan revegetasinya, tidak semudah di hutan produksi. Oleh karena itu, pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk masa yang akan datang harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.
Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) seluas 120,3 juta hektare, sebanyak 29,6 juta hektare di antaranya adalah hutan lindung.
Dari 29,6 juta hektare hutan lindung tersebut, 5,6 juta hektare di antaranya termasuk hutan lindung yang telah rusak dalam artian hutan lindung yang tidak lagi mempunyai tutupan hutannya (non forested) akibat berbagai faktor, salah satunya IPPKH untuk pertambangan.
Mengutip data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK periode tahun 1984-2020 yang dirilis akun Instagram resminya dan dilansir Kompas.com, Minggu (31/1/2021), baik IPPKH maupun pelepasan hutan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Era Presiden Soeharto sepanjang 1984 sampai 1998, jumlah IPPKH yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru, yakni seluas 66.251 hektare (ha). Rinciannya 53.010 ha untuk peruntukan tambang dan non-tambang seluas 13.241 ha.
Kemudian pada 1998-1999 atau era Presiden BJ Habibie, jumlah IPPKH yang diterbitkan, yakni seluas 22.126 ha dengan rincian 21.196 ha untuk kebutuhan tambang dan 930 ha untuk non-tambang.
Era Presiden Abdurrahman Wahid, jumlah IPPKH yang dikeluarkan pemerintah, yakni seluas 33.539 ha yang meliputi 32.110 ha sebagai peruntukan tambang 1.429 ha sebagai area non-tambang.
Saat Presiden Megawati Soekarnoputri, luasan IPPKH menurun, yakni seluas 13.701 ha dengan rincian 1.473 ha sebagai area tambang dan 12.228 ha sebagai area non-tambang.
Jumlah IPPKH melonjak di dua periode pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono ( SBY) dengan luas mencapai 322.169 ha yang meliputi peruntukan tambang 305.070 ha dan 17.097 ha sebagai kawasan non-tambang atau terbesar dibanding 5 Presiden Indonesia lainnya.
Terakhir era Presiden Joko Widodo, jumlah IPPKH yang diterbitkan pemerintah, yakni seluas 131.516 ha dengan rincian 117.106 ha untuk area tambang dan 14.410 ha untuk kawasan non-tambang.
Berikut rincian penerbitan IPPKH per periode pemerintahan dari tahun 1984-2020:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya