KOMPAS.com - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura menolak gugatan terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT Indo Asiana Lestari.
Penolakan tersebut disampaikan PTUN Jayapura dalam putusannya pada Kamis (2/11/2023).
Sebelumnya, pada 13 Maret 2023, pejuang lingkungan dari suku Awyu, Hendrikus Woro melayangkan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura.
Baca juga: Perwakilan Suku Awyu Minta Intervensi PTUN Jakarta, Bagaimana Kelanjutannya?
Hendrikus menggugat izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (PTSP) Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).
Dia menilai, izin lingkungan PT IAL diperkirakan akan memicu deforestasi di hutan alam kering primer yang luasnya mencapai 26.326 hektare.
Potensi emisi karbon yang lepas jika deforestasi terjadi setidaknya mencapai 23 juta ton karbon dioksida.
Potensi epasnya karbon dioksida tersebut setara dengan lima persen dari tingkat emisi karbon yang hendak diturunkan pemerintah pada 2030.
Baca juga: Tanahnya Diserobot, Suku Awyu Mengadu ke Komnas HAM, Ini Hasilnya
Dilansir dari siaran pers Greenpeace Indonesia, selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus dan kuasa hukumnya menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli.
Alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu tersebur menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL.
"Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia. Namun saya tidak akan pernah mundur, saya akan terus maju," kata Hendrikus dikutip dari siaran pers Greenpeace Indonesia.
"Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang tete nene leluhur wariskan untuk saya," imbuhnya.
Baca juga: Tak Hanya ke PTUN Jakarta, Suku Awyu Adukan Masalah Tanah ke Komnas HAM
Dalam putusannya, hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Hakim menilai, AMDAL tersebut bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL.
Sementara itu, anggota tim kuasa hukum suku Awyu Tigor Hutapea menilai, hakim juga keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel.
"LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat," kata Tigor.
Baca juga: Tak Hanya ke PTUN Jakarta, Suku Awyu Adukan Masalah Tanah ke Komnas HAM
"Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak," sambungnya.
Anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay berujar, pihaknya berencana melakukan banding karena perkara tersebut menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar.
"Kami juga akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini," ucap Emanuel.
Meski satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan," sambungnya.
Baca juga: Pejuang Lingkungan Hidup Suku Awyu Minta Intervensi PTUN Jakarta, Ini Sebabnya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya