KOMPAS.com – Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) berpendapat penerapan perdagangan karbon masih menghadapi sejumlah tantangan.
Pada 27 September, pemerintah meluncurkan Bursa Karbon Indonesia. Dengan demikian, perdagangan karbon di “Bumi Pertiwi” resmi dimulai.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo mengatakan, perdagangan karbon bisa menjadi salah satu upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam mitigasi perubahan iklim.
Baca juga: 358.719 Hektar Kawasan Hutan Baru Disertifikatkan Lewat Redistribusi Tanah
Dia menjelaskan, penerapan nilai ekonomi karbon (NEK) merupakan salah satu sumber pendanaan untuk mencapai target pengurangan emisi GRK Indonesia.
“Untuk melaksanakan NEK, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah regulasi. Meski demikian dalam implementasinya masih penuh tantangan,” kata Indroyono sebagaimana dilansir Antara, Rabu (8/11/2023).
Dia menambahkan, Indonesia juga mendeklarasikan komitmen untuk mencapai FOLU Net Sink 2030 untuk mengirangi emisi GRK.
Singkatnya, FOLU Net Sink adalah kondisi di mana sektor lahan dan hutan menyerap lebih banyak emisi GRK daripada yang dihasilkan.
Baca juga: CDC 2023, Upaya Menjadikan Indonesia sebagai Hub Karbon Dunia
Berdasarkan komitmen FOLU Net Sink , Indonesia menargetkan tingkat penyerapan GRK pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain jauh lebih tinggi atau setidaknya sama dengan emisinya pada 2030.
Pencapaian target tersebut membutuhkan pendanaan yang diperkirakan mencapai 14 miliar dollar AS.
Dari angka tersebut, 55 persen di antaranya diharapkan datang dari investasi sektor swasta, salah satunya melalui NEK.
Untuk pelaksanaan NEK, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon serta Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
Baca juga: Dukung Perdagangan Karbon, IDCTA Gelar Carbon Digital Conference 2023
Selain itu, pemerintah juga meresmikan Bursa Karbon sebagai tempat untuk perdagangan karbon kredit berupa Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang telah terdaftar dalam Sistem Registri Nasional (SRN).
Menurut Indroyono, pelaksanaan perdagangan karbon di tanah air bisa mengambil pelajaran dan pengetahuan dari negara lain mengenai kredit karbon.
Saat ini ada sekitar 600 unit perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mengelola sekitar 30 juta hektare kawasan hutan.
Berdasarkan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023, ada 22 aksi mitigasi yang bisa dilakukan perusahaan PBPH.
Baca juga: Pajak Karbon Tak Kunjung Diterapkan, Ini Alasan BRIN
Contohnya adalah mengurangi laju degradasi hutan lahan mineral, lahan gambut dan mangrove; pembangunan hutan tanaman; pengelolaan hutan lestari; rehabilitasi hutan; dan lainnya.
Sekjen APHI Purwadi Soeprihanto menguraikan, salah satu tantangan yang dihadapi PBPH dalam mengimplementasikan NEK adalah metodologi pengukuran kinerja pengurangan emisi GRK.
Pasalnya metodologi yang sekarang digunakan dalam SRN masih belum sepenuhnya melingkupi aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030.
“Perlu dilakukan percepatan untuk pengesahan metodologi yang bisa diaplikasikan pada PBPH sesuai dengan aksi mitigasi FOLU Net Sink 2023,” tutur Purwadi.
Sementara itu Senior Advisor Business Finland, yang juga Konselor Kedutaan Besar Finlandia di Jakarta, Nina Jacoby mengatakan, perdagangan karbon sejatinya belum benar-benar siap di seluruh dunia.
Baca juga: Proyek Pelestarian Hutan di Zimbabwe Bermasalah, Kerja Sama Karbon Diputus
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya