Negara-negara Asia bisa menjadi mitra setrategis Indonesia, misalnya Korea Selatan menjadi pihak dalam mendukung komitmen Indonesia menuju NZE 2060.
Beberapa opsi tersebut dilakukan dengan pertimbangan kondisi dalam negeri dikalkulasikan dengan tuntutan global.
Pertama, proyek investasi dalam PLTU masih menjadi tulang punggug Indonesia mencapai 80 persen memasok kebutuhan nasional.
Oleh karena itu, perlunya teknologi yang super critical menjadi dasar adaptasi perubahan iklim di sektor ketenagalistrikan. Sembari mendorong peningkatan bauran bahan baku yang renewable.
Korea menjadi mitra yang perlu didorong karena investasinya cukup besar di Indonesia seperti di PLTU Jawa 9-10, Suralaya, Banten. Proyek itu dibangun PT Indoraya Tenaga, perusahaan gabungan PT Indonesia Power—anak usaha PT PLN (Persero), dengan Doosan Heavy, dan Korea Midland Power senilai 3,5 milyar dollar AS dari pendanaan Korean Exim.
Demikian juga di PLTU Kanci 1 dan 2 yang pemegang saham terbesar dari Korea Selatan melalui Korea Midlane Power Co dan Samtan Korea bekerja sama dengan Indika Energi yang diperkirakan secara total mencapai 2 miliar dollar AS.
Khusus PLTU Kanci 1 direncakan akan dilakukan phase out sebagai pilot project pertama kalinya penghentian PLTU berbasis batu bara di Indonesia pada 2037 atau 15 tahun lebih cepat dari masa operasi.
Penghentian ini dilakukan dengan pendanaan dari Asian Development Bank sekitar 200-350 juta dollar AS.
Kedua, Korea Selatan memiliki kebijakannya South Korea The Green New Deal yang berfokus pada pengembangan energi terbarukan, infrastruktur ramah lingkungan, dan sektor industri.
Beberapa program dimulai dengan subsidi mobil ramah lingkungan hingga 17 juta dollar AS kepada masyarakat yang membeli mobil listrik pada 2021 dan hingga 33,5 juta dollar AS untuk kendaraan listrik sel bahan bakar hidrogen.
Selain itu pada 2022, menyerahkan NDC dan setrategi netralitas karbon pada 2050 atau satu dekade lebih maju dibandingkan Paris Agreement.
Indonesia memulai kampanye dengan mobil listrik, penguatan transpaortasi publik berbahan bakar renewable energy, hilirisasi produk pertambangan dan berbagai pengembangan lain.
Meskipun kita masih belum memiliki kerangka yang jelas mengenai kebijakan legislasi nasional bidang energi baru dan terbarukan.
Ketiga, Korea Selatan mengambil opsi yang soft terkait transisi energi dengan tetap mengandalkan sumber daya yang dimiliki, yakni dengan mengembangkan nuklir sebesar 30 persen untuk bauran energi, penguatan produksi hidrogen biru dan amonia bebasis LNG untuk pembakaran batu bara yang tersisa sampai program NZE 2050 tercapai.
Jadi tidak secara ugal-ugalan untuk menghentikan seluruh energi fosil, tetapi setahap demi setahap dengan pengembangan teknologi, kesiapan masyarakat dan fundamental industri dalam negeri.
Indonesia perlu membandingkan karena kita adalah negara dengan penghasil sumber daya alam dan perlu sifthing yang tepat agar persoalan ketenagakerjaan, pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional tetap dapat dipertahankan.
Berkaca dari hal tersebut, maka kunci untuk mencapai transisi energi yang berkadilan adalah kolaborasi dan memperkuat aliansi baik global, bilateral dan nasional serta pelibatan aktif pihak swasta dan masyarakat.
Sebab transisi energi memerlukan teknologi, organisasi, proses baru serta pemerintahan efektif untuk menjadi lokomotif dalam perubahan tersebut.
Maka ketika satu hambatan muncul – pemerintah perlu memikirkan berbagai alternatif lainnya karena bumi dan alam ini adalah titipan anak cucu (intergenerational equity) yang harus dijaga dan dipelihara karena mereka adalah masa depan kita.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya