KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, merokok di lingkungan rumah masuk dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, orang yang merokok di dalam rumah setara melakukan minimal dua tindakan KDRT.
"Kalau suami, istri, atau anak merokok di rumah, artinya minimal dia telah melakukan dua tindakan KDRT," kata Tulus dalam diskusi soal Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta, Selasa (14/11/2023), sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: Sulit Didaur Ulang, Rokok Elektrik Bikin Pusing Parlemen Inggris
Tulus menjelaskan, bentuk KDRT pertama dari merokok di rumah adalah menyebabkan seluruh penghuni rumah berisiko mengidap penyakit yang dipicu oleh rokok.
"Maka bapak dan ibu wajib menegur keras, laporkan ke pihak berwajib kalau perlu," ujar Tulus.
Sedangkan bentuk KDRT kedua dari merokok di rumah menurut Tulus adalah kekerasan dalam hal ekonomi.
Alasannya, uang yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli panganan yang bergizi malah dialihkan untuk konsumsi rokok yang membawa risiko penyakit.
Baca juga: Konsumsi Rokok Terus Sumbang Kemiskinan di Indonesia
"Beli rokok seenaknya sendiri, anak enggak dibelikan telur. Akibatnya stunting di DKI Jakarta tinggi. Masak kota kelas internasional masih ada stunting," ucapnya.
Tulus mengimbau agar masyarakat tidak merokok dan mengalihkan dana belanja rokok menjadi belanja lauk pauk yang bergizi.
Selain itu, dia juga mendorong berbagai upaya pemerintah dalam membatasi penjualan dan penggunaan rokok di masyarakat.
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2021, pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk belanja protein.
Baca juga: Banyak Remaja Terpapar Iklan Rokok, Regulasi Perlu Diperketat
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maria Endang Sumiwi telah mengajak para pria, khususnya para bapak, untuk berkontribusi pada program penurunan angka stunting.
Salah satu caranya adalah alokasi belanja rokok dialihkan untuk membeli kebutuhan protein guna pertumbuhan anak.
"Ini fokus kami, karena angka stunting di Indonesia masih relatif tinggi menurut kategori WHO maksimal 20 persen populasi," ujar Maria.
"(Prevalensi stunting) di Indonesia masih 21 persen, kalau 30 persen balita berpotensi terpapar rokok di rumah tangga, ini jadi salah satu hambatan dalam menurunkan stunting," sambungnya.
Baca juga: Kemenkes Sebut Rokok Biang Keladi Masalah Multidimensi di Dunia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya