KOMPAS.com – Teknologi penangkap dan penyimpan karbon atau carbon capture and storage (CCS) memiliki peluang untuk diimplementasikan ke sektor industri berat yang susah dimitigasi emisinya.
Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) Raditya Wiranegara mengatakan, contoh industri yang susah dimitagi emisinya tersebut seperti semen, pupuk, petrokimia, baja.
“Intesitas energi di industri-industri ini sangat tinggi, yang saat ini masih didominasi batu bara dan gas sebagai sumber energinya,” kata Raditya kepada Kompas.com melalui perpesanan WhatsApp, Rabu (15/11/2023).
Baca juga: Indonesia-AS Tandatangani 2 Perjanjian Penangkap Karbon di Bumi Pertiwi
Akan tetapi, dia menggarisbawahi bahwa secara teori, teknologi CCS yang ada saat ini hanya menangkap 90 persen dari emisi karbon dioksida.
“Artinya, masih ada sekitar 10 persen emisi yang akan lepas ke atmosfer,” ujar Raditya.
Di sektor minyak dan gas (migas), Raditya menilai penerapan teknologi CCS sudah cukup matang, terutama di fasilitas pemrosesan gas alam.
“Di Indonesia sendiri, CCS juga digunakan meningkatkan keekonomian dari gas alam. Sebagai contoh di lapangan gas Tangguh. Gas alam di lapangan ini memiliki kandungan alami karbon dioksida hingga 15 persen,” tutur Raditya.
Baca juga: Pertama di Dunia, Satelit yang Mampu Pantau Karbon Dioksida PLTU Captive Diluncurkan
Dengan menerapkan CCS di lapangan gas alam tersebut, kandungan alami karbon dikosida di sana dapat dikurangi.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Indonesia dan Amerika Serikat (AS) menandatangani dua perjanjian terkait CCS di “Bumi Pertiwi”.
Kedua perjanjian tersebut ditandatangani di tengah pertemuan bilateral AS-Indonesia di Washngton DC, pada Senin (13/11/2023).
Perjanjian pertama adalah Amendemen Pokok-Pokok Perjanjian (HOA) yang memungkinkan kemajuan lebih lanjut CCS Hub oleh PT Pertamina dengan ExxonMobil.
Sedangkan perjanjian kedua adalah Nota Kesepahaman atau MoU antara Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil.
Baca juga: CDC 2023, Upaya Menjadikan Indonesia sebagai Hub Karbon Dunia
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Jodi Mahardi mengatakan, perjanjian tersebut membuktikan kesiapan Indonesia.
“Semua perangkat di Indonesia, khususnya dari sisi Pemerintah, telah siap memanfaatkan potensi CCS Indonesia untuk kemajuan industri rendah karbon, peningkatan investasi, dan pembukaan lapangan kerja baru untuk masyarakat Indonesia,” kata Jodi dalam keterangan tertulis.
Dikutip dari siaran pers Kemenko Marves, Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon mencapai 400 gigaton.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, perjanjian tersebut tidak hanya berdampak pada pengurangan emisi, tetapi juga akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
“Dua perjanjian yang ditandatangani hari ini menandakan langkah penting dalam perjalanan Indonesia sebagai pemimpin dalam pengurangan emisi,” kata Arifin.
Baca juga: Implementasi Penangkap dan Penyimpan Karbon di Indonesia Dinilai Tidak Tepat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya