Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/11/2023, 16:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Rencana Pemerintah Indonesia untuk menerapkan teknologi penangkap dan penyimpan karbon dinilai tidak tepat.

Sejauh ini, ada dua metode penangkap karbon yaitu Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Penerapan CCS atau CCUS di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara untuk menangkap emisi karbon dinilai lebih mahal bila dibandingkan membangun energi terbarukan.

Baca juga: Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Penangkap Karbon, Dipantau Real Time

Penilaian tersebut tertuang dalam studi terbaru berjudul "Meninjau Kelayakan Pembangunan Teknolgi Penangkap Karbon di Indonesia" yang dirilis oleh Yayasan Indonesia Cerah pada Oktober 2023.

Dua penulis dalam studi itu, Mahawira Dillon dan Sartika Nur Shalati, menyebutkan bahwa penangkap dan penyimpan karbon justru berpotensi memperpanjang usia PLTU batu bara, sekaligus memperpanjang peluang harga listrik.

Berkaca di sejumlah kasus, proyek penangkap dan penyimpan karbon mengalami berbagai kegagalan hingga akhirnya mangkrak yang pada akhirnya justru merugikan negara.

Selain itu, mangkraknya penangkap dan penyimpan karbon juga merugikan lingkungan serta masyarakat, dan mengesampingkan peluang negara untuk memaksimalkan pembangunan energi terbarukan.

Baca juga: Teknologi Penangkap Karbon Lebih Mahal daripada Pensiun Dini PLTU Batu Bara

"Pemerintah sebaiknya menggunakan anggaran negara untuk pensiun dini PLTU dan membangun energi terbarukan yang lebih murah dan berkelanjutan dibanding CCS/CCUS," tulis penyusun studi tersebut.

Di samping itu, teknologi penangkap karbon juga dinilai tidak berdampak signifikan dalam menurunkan emisi dibandingkan enegeri terbarukan.

Teknologi penangkap karbon tidan benar-benar menghilangkan karbon, melainkan menangkap lalu penyimpan karbon dengan masa tertentu agar tidak menyebar ke atmosfer.

Saat disimpan, ada risiko kebocoran. Jika bocor, karbon yang ditangkap akan lepas ke atmosfer sehingga upaya penangkapannya pun menjadi sia-sia.

Jika pemerintah bergantung terhadap teknolgi penangkap karbon sebagai solusi mengurangi emisi, dikhawatirkan target dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sulit tercapai.

Baca juga: Puluhan Perusahaan Migas Komitmen Pangkas Emisi dalam COP28, Ekspansi Penangkap Karbon?

Pusat penangkap karbon

Pada September 2023, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Indonesia siap jadi pusat teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon dunia.

Luhut berujar, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon sebenarnya sudah ada sejak lama. Dia mengeklaim Indonesia mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 400 gigaton.

"Jadi saya ingin melihat tindak lanjutnya," kata Luhut saat menutup acara "International and Indonesia Carbon Capture Storage (IICCS) Forum 2023" pada 13 September 2023.

Dari aspek keuangan dan bisnis, kata Luhut, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon berpotensi untuk menarik investasi besar di masa depan.

"Peraturan apa pun yang perlu kami tetapkan, akan kami tetapkan," ucap Luhut, sebagaimana dilansir Antara.

"Tidak banyak orang yang mengetahui hal ini padahal ini sangat berpotensi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat dan strategis dalam bidang ini," tambahnya.

Baca juga: Dukung Perdagangan Karbon, IDCTA Gelar Carbon Digital Conference 2023

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Kebakaran Lahan Gambut Akibat El Nino Bisa Terulang pada 2027
Kebakaran Lahan Gambut Akibat El Nino Bisa Terulang pada 2027
LSM/Figur
Bappenas : PDB Pantura Besar, Pembangunan 'Giant Sea Wall' Demi Selamatkan Indonesia
Bappenas : PDB Pantura Besar, Pembangunan "Giant Sea Wall" Demi Selamatkan Indonesia
Pemerintah
Musim Panas Ekstrem di Eropa Sebabkan Kerugian 43 Miliar Euro
Musim Panas Ekstrem di Eropa Sebabkan Kerugian 43 Miliar Euro
LSM/Figur
23 Ribu Lahan Gambut Terbakar pada Juli 2025, 56 Persen Terkait Izin Sawit dan PBPH
23 Ribu Lahan Gambut Terbakar pada Juli 2025, 56 Persen Terkait Izin Sawit dan PBPH
LSM/Figur
IEA Proyeksikan Pertumbuhan Kuat Proyek Hidrogen Rendah Emisi
IEA Proyeksikan Pertumbuhan Kuat Proyek Hidrogen Rendah Emisi
Pemerintah
KKP Bangun Kampung Nelayan Merah Putih di 65 Lokasi Pada Tahun Ini
KKP Bangun Kampung Nelayan Merah Putih di 65 Lokasi Pada Tahun Ini
Pemerintah
Geo-engineering Tidak Cukup untuk Lindungi Kutub dari Perubahan Iklim
Geo-engineering Tidak Cukup untuk Lindungi Kutub dari Perubahan Iklim
Pemerintah
Titik Karhutla 2025 Terbanyak di Kalbar, Kontributor Terbesar dari Pembukaan Lahan Sawit
Titik Karhutla 2025 Terbanyak di Kalbar, Kontributor Terbesar dari Pembukaan Lahan Sawit
LSM/Figur
Wujud Kepedulian, Pertamina Salurkan Bantuan Sembako untuk Korban Banjir di Bali
Wujud Kepedulian, Pertamina Salurkan Bantuan Sembako untuk Korban Banjir di Bali
BUMN
Laporan Bank Dunia: Perlindungan Alam Kunci Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan
Laporan Bank Dunia: Perlindungan Alam Kunci Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan
Pemerintah
Pertagas Kembangkan Budidaya Madu hingga Ikan Keramba untuk Berdayakan Masyarakat Riau
Pertagas Kembangkan Budidaya Madu hingga Ikan Keramba untuk Berdayakan Masyarakat Riau
BUMN
Salahkan Cuaca Ekstrem Jadi Penyebab Karhutla, Menhut Dinilai Lepas Tanggung Jawab
Salahkan Cuaca Ekstrem Jadi Penyebab Karhutla, Menhut Dinilai Lepas Tanggung Jawab
Pemerintah
KLH Segel Perusahaan yang Diduga Jadi Sumber Paparan Radioaktif Udang Beku
KLH Segel Perusahaan yang Diduga Jadi Sumber Paparan Radioaktif Udang Beku
Pemerintah
BRIN Sebut 5 Faktor Gabungan Sebabkan Hujan Ekstrem hingga Banjir di Bali
BRIN Sebut 5 Faktor Gabungan Sebabkan Hujan Ekstrem hingga Banjir di Bali
Pemerintah
Menteri LH: Krisis Pengelolaan Sampah Picu Banjir Parah di Bali
Menteri LH: Krisis Pengelolaan Sampah Picu Banjir Parah di Bali
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau