KOMPAS.com – Gerakan perempuan yang kuat menjadi salah satu sarana upaya dalam mencapai pemenuhan hak-hak perempuan.
Hal tersebut disampaikan Direktur Association for Women's Rights in Development (AWID) Eunice Borges dalam seminar internasional yang digelar oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) baru-baru ini.
Gerakan yang kuat dapat memberikan masyarakat pemahaman mengenai hak-hak perempuan sekaligus menuntut pertanggungjawaban ke negara.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Ungkap Banyak DCT Tak Penuhi Keterwakilan Perempuan 30 Persen
Akan tetapi, gerakan perempuan masih menghadapi sejumlah kendala. Beberapa di antaranya adalah upaya advokasi dan monitoring berbagai tantangan.
“Adanya berbagai tantangan yang kita hadapi saat ini, termasuk bagaimana kita tumbuh, membuat kita memahami bagaimana kerja untuk berjuang dalam inklusivitas dan menyuarakan suara sebagai perempuan untuk mendukung gerakan perempuan,” kata Eunice dikutip dari situs web Komnas Perempuan, Selasa (14/11/2023).
“Selain itu, kita perlu memiliki kesadaran bagaimana agar mampu menghadapi tantangan gerakan perempuan secara global, serta bagaimana saling menguatkan dalam berbagai forum seperti CSW (Commission on the Status of Women) dan HRC (Human Rights Council),” sambungnya.
Sementara itu, menurut Direktur Asia Pacific Forum on Women, Law, and Development (APWLD) Misun Woo, berbagai krisis multilarisme disebabkan oleh adanya patriarki, kolonialisme, serta globalisme.
Baca juga: Perempuan Penyintas Kekerasan Perlu Diberdayakan
Dia menyampaikan, gerakan perempuan harus bertahan di tengah reformasi hukum yang tidak adil.
Di sektor ketenagakerjaan misalnya, terjadi penurunan upah, adanya praktik eksploitasi para pekerja, pemberhentian pekerja perempuan, serta adanya gap atau selisih pembayaran berdasarkan gender.
Berbagai ketidakadilan tersebut selain merugikan perempuan, juga menyebabkan adanya ketidaksetaraan dalam perekonomian.
Woo menyampaikan, selain memprioritaskan sistem keadilan, gerakan perempuan juga perlu mengatasi kekurangan informasi dalam penanganan kasus ketidakadilan, terutama dalam ekonomi, pekerja, hak pangan, dan partisipasi perempuan dalam demokrasi.
“Rekomendasi dalam mengatasi kekerasan adalah dengan meningkatkan keadilan ekonomi, termasuk hak atas pangan, ekonomi, hak lainnya, serta pentingnya kajian dan pengamatan,” jelas Woo.
Baca juga: Lebih Banyak Perempuan di Parlemen Jadikan Demokrasi Lebih Inklusif
Di sisi lain, Sylvia Tiwon dari University of Berkeley mengungkapkan, kemiskinan yang dialami perempuan masih kurang dipahami di masyarakat.
Dia menuturkan, jika kemiskinan diganti dengan kata ketidakadilan mungkin menjadi lebih jelas persoalan yang dihadapi, termasuk adanya disagregasi antara laki-laki dan perempuan.
Woo juga memberikan masukan kepada Komnas Perempuan untuk memperbaiki ketidakadilan gender yang masih berlangsung dalam bidang pendidikan, tingkat pendapatan, dan lainnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya