KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia tengah getol mempromosikan teknologi penangkap karbon alias carbon capture storage (CCS) atau carbon capture and utilization storage (CCUS).
Pada 13 September, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Indonesia siap jadi pusat teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon dunia.
Luhut berujar, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon sebenarnya sudah ada sejak lama. Dia mengeklaim Indonesia mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 400 gigaton.
Sebenarnya, apa dan bagaimana teknologi penangkap dan penyimpan karbon alias CCS atau CCUS ini?
Baca juga: Teknologi Penangkap Karbon Berpeluang Diterapkan di Industri Berat, Ini Daftarnya
Teknologi penangkap dan penyimpanan karbon adalah metode penyerapan karbon dioksida hasil aktivitas industri atau pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Gas karbon yang dihasilkan dari aktivitas industri dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dicegah lepas ke atmosfer dengan teknologi penangkap.
Setelah gas karbon dioksida ditangkap, lalu dimasukkan jauh ke bawah tanah sehingga tersimpan dan tidak lepas ke atmosfer.
Baca juga: Indonesia-AS Tandatangani 2 Perjanjian Penangkap Karbon di Bumi Pertiwi
Sebagaimana namanya, cara kerja penangkap dan penyimpan karbon adalah menangkap emisi karbon dioksida kemudian disimpan ke dalam tanah.
Emisi karbon dioksida tersebut berasal dari berbagai macam. Biasanya, karbon dioksida yang ditangkap berasal dari industri berat atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Dilansir dari web Energy Factor besutan ExxonMobil, penangkap karbon mampu menyerap karbon lalu menyimpannya di dalam tanah sehingga tidak mengudara mencapai atmosfer.
Akan tetapi, prosesnya tidak mudah. Pemisahan molekul seukuran karbon dioksida memerlukan presisi yang luar biasa.
Baca juga: Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Penangkap Karbon, Dipantau Real Time
Dilansir dari publikasi berjudul “CCUS untuk Pembangunan Berkelanjutan: Potensi dan Tantangan di Industri Migas Indonesia” yang terbit dalam Prosiding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Kebumian Ke-III 2021, ada tiga langkah utama dalam penangkap dan penyimpan karbon.
Pertama, penangkapan dan kompresi karbon oksida di lokasi emisi. Kedua, pengangkutan karbon dioksida ke lokasi penyimpanan. Ketiga, penyimpanan karbon dioksida secara permanen dalam formasi geologi di bawah permukaan.
Selain disimpan, karbon yang ditangkap juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas di sumur-sumur migas yang sudah tua.
Baca juga: Teknologi Penangkap Karbon Lebih Mahal daripada Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Akan tetapi, teknologi penangkan karbon juga tak lepas dari kontroversi serta menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.
Pihak yang mendukung penerapan penangkap karbon menyampaikan, karbon dioksida yang dimasukkan jauh ke bawah tanah dapat disimpan secara aman, terlindungi, dan permanen.
Penangkap karbon juga disebut dapat menyerap emisi hingga 90 dari aktivitas industri, menurut Energy Factor.
Teknologi ini juga disebut menjadi salah satu dari segelintir inovasi yang membantu dekarbonisasi industri yang membutuhkan energi besar.
Baca juga: Puluhan Perusahaan Migas Komitmen Pangkas Emisi dalam COP28, Ekspansi Penangkap Karbon?
Di sisi lain, pihak yang resisten menyebutkan bahwa penerapan penangkap karbon di PLTU batu bara justru lebih mahal bila dibandingkan membangun energi terbarukan.
Penilaian tersebut tertuang dalam studi terbaru berjudul “Meninjau Kelayakan Pembangunan Teknolgi Penangkap Karbon di Indonesia” yang dirilis oleh Yayasan Indonesia Cerah pada Oktober 2023.
Penulis dalam studi itu menyebutkan, penangkap dan penyimpan karbon justru berpotensi memperpanjang usia PLTU batu bara.
Berkaca di sejumlah kasus, proyek penangkap dan penyimpan karbon mengalami berbagai kegagalan hingga akhirnya mangkrak yang justru merugikan negara.
Baca juga: Wujudkan NZE 2060 di Indonesia, Pertamina Teken MoU untuk Kembangkan Teknologi CCS/CCUS
Selain itu, mangkraknya penangkap dan penyimpan karbon turut merugikan lingkungan serta masyarakat, dan mengesampingkan peluang negara untuk memaksimalkan pembangunan energi terbarukan.
Teknologi ini tidak benar-benar menghilangkan karbon, melainkan menangkap lalu penyimpan karbon dengan masa tertentu agar tidak menyebar ke atmosfer.
Saat disimpan, ada risiko kebocoran. Jika bocor, karbon yang ditangkap akan lepas ke atmosfer sehingga upaya penangkapannya pun menjadi sia-sia.
Baca juga: Chevron dan Pertamina Teken Perjanjian Pengembangan Teknologi CSS dan CCUS di Indonesia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya