SUATU pagi, di restoran salah satu hotel berbintang, saya menemukan imbauan yang dipasang di antara jejeran makanan: "Berpikir sebelum membuang, begitu banyak makanan yang kita hasilkan menjadi sia-sia. Jadi, harap ambil makanan secukupnya dan hindari makanan yang kita ambil terbuang sia-sia."
Menurut saya, pesan ini berada di tempat yang tepat. Di tengah jejeran makanan enak telah menanti untuk disantap. Waktunya memenuhi keinginan naluriah sebagai manusia.
Namun terkadang kita menjadi lupa diri hingga deretan makanan yang nampaknya sangat cantik terlihat dan mengundang selera itu, membuat kita kalap dan mengambil makanan melebihi porsi yang biasanya dikonsumsi.
Pada akhirnya, yang tersisa di piring bukan saja sendok dan garpu, melainkan makanan yang tidak termakan. Ujungnya bisa ditebak, sisa makanan itu akan berakhir di tempat sampah alias food waste.
Sampah pangan atau food waste menjadi isu penting yang menarik dibahas karena kontribusinya terhadap timbulan sampah bisa mencapai 40 persen.
Menurut The Economist Intelligence Unit (IEU), Indonesia merupakan negara dengan tingkat food waste terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.
Rata-rata food waste yang dihasilkan di negara kita mencapai 300 kg per orang per tahun. Sedangkan Saudi Arabia sebesar 427 kg per orang per tahun dan Amerika Serikat yang menempati urutan ketiga mencapai 277 kg per orang per tahun.
Hasil kajian Bappenas tahun 2021 juga menemukan dalam kurun waktu tahun 2000 hingga 2019, Indonesia menghasilkan 23-48 juta ton sampah makanan per tahun.
Jumlah sampah makanan tersebut sepatutnya dapat memberi makan 61-125 juta orang atau sama dengan 29-47 persen populasi rakyat Indonesia.
Sedangkan secara ekonomi, food loss dan food waste mengakibatkan kerugian sekitar Rp 551 triliun atau setara dengan 36,6 miliar dollar AS.
Sementara itu, dampak lingkungan yang dihasilkan dari sampah pangan diperkirakan sebesar 1.702,9 Mt CO2 ek, dengan rata-rata kontribusi per tahun setara dengan 7,29 persen emisi gas rumah kaca Indonesia yang memengaruhi pemanasan global.
Dari paparan data tersebut menunjukkan Indonesia harus memiliki upaya kuat dalam menekan food loss dan waste karena bukan saja berdampak pada aspek ketahanan pangan dan gizi, tetapi juga berdampak pada ekonomi dan lingkungan.
Food loss merupakan sampah pangan dari bahan pangan yang masih mentah, namun sudah tidak bisa diolah menjadi makanan dan akhirnya terbuang begitu saja. Food loss bisa terjadi pada saat pangan tersebut dipanen, di industri, hingga di rumah tangga.
Sementara food waste terjadi pada saat pangan tersebut telah siap dikonsumsi, tetapi terbuang begitu saja.
Pesan untuk tidak membuang-buang makanan atau tidak boros pangan sebetulnya sudah banyak dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Kampanye anti-food waste digencarkan oleh berbagai organisasi/kelompok masyarakat antara lain Food Cycle Indonesia, Foodbank of Indonesia, Surplus Indonesia, dan Garda Pangan.
Para pegiat food waste tidak saja melakukan kampanye dan edukasi ke berbagai kalangan masyarakat, tetapi juga melakukan langkah aksi dengan mengumpulkan makanan yang berpotensi terbuang untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Hal ini menarik pemerintah untuk memperluas gerakan bersama menekan food waste. Salah satunya dilakukan oleh Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) melalui Gerakan Selamatkan Pangan.
Gerakan ini ingin menguatkan peran pemerintah untuk menekan food waste sehingga pangan yang berpotensi terbuang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi tingkat kerawanan pangan dan gizi.
Gerakan ini berkolaborasi dengan para pegiat food waste serta pemerintah daerah, dan bertujuan mencegah terjadinya pemborosan pangan melalui dukungan kebijakan fasilitasi aksi penyelamatan pangan untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Secara konkret, NFA menyediakan mobil logistik pangan dan food truck agar dapat dimanfaatkan untuk penjemputan dan penyaluran donasi pangan.
Sebagai bagian dari Gerakan Selamatkan Pangan, NFA juga mendorong edukasi pentingnya menekan food waste dengan menyasar sekolah dasar di berbagai provinsi dan kabupaten/kota melalui program Genius (Gerakan Edukasi Dan Pemberian Pangan Bergizi Untuk Siswa).
Bentuknya berupa pemberian kudapan pangan bergizi berbahan dasar sumber protein hewani berupa telur, susu, ayam, dan ikan disertai edukasi pentingnya pangan dan gizi.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat tersebut patut diapresiasi sebagai upaya bersama menekan food waste.
Namun hingga saat ini upaya tersebut masih dominan bersifat persuasif dan belum disertai dengan regulasi yang lebih kuat dalam menekan food waste.
Keliru ketika kita merasa bahwa penekanan food waste cukup dengan imbauan, sosialisasi atau apapun itu yang sifatnya persuasif. Butuh regulasi yang lebih kuat yang bisa "memaksa" berbagai elemen masyarakat untuk mengubah perilaku boros pangan.
Penerapan regulasi seperti itu tentunya tidak terlepas dari berbagai pro kontra di kalangan masyarakat. Kita bisa berkaca dari penerapan larangan penggunaan kantong plastik sebagai upaya mengurangi sampah plastik.
Dalam beberapa tahun belakangan, kantong plastik sudah jarang ditemui di beberapa ritel dan pasar di Indonesia.
Perubahan ini tidak instan, Kompas (4/10/2023) mengulas bagaimana proses yang berlangsung hingga 13 tahun ini melalui berbagai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Bahkan ada pihak yang merasa dirugikan dengan regulasi penggunaan kantong plastik melakukan gugatan ke meja hijau.
Hal yang sama juga seharusnya bisa diterapkan di sektor pangan. Dalam Peringatan Hari Kesadaran Internasional tentang Food Loss and Waste pada Jumat (29/09/2023) di Jakarta, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mendukung dilakukannya penguatan regulasi untuk mengubah perilaku boros pangan karena hal ini bukan saja telah menjadi tantangan nasional, tapi juga permasalahan global.
Dukungan juga mengalir dari kalangan legislatif. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini dalam RDP Komisi IV DPR RI dengan Badan Pangan Nasional pada Rabu 8 November 2023, meminta pemerintah segera melakukan kajian mendalam mengenai urgensi penyusunan regulasi terkait upaya menekan food waste.
Upaya serius ini perlu terus dikawal oleh kita semua, agar substansi pengaturannya benar-benar dapat diimplementasikan dengan baik.
Benchmarking dengan beberapa negara yang telah menerapkan regulasi food waste ketat juga perlu dilakukan.
Sebagai contoh, China memiliki UU anti-food waste. Menurut UU tersebut, pemilik restoran dapat didenda hingga 10.000 Yuan atau sekitar Rp 21 juta karena membujuk atau menyesatkan pelanggan untuk memesan makanan secara berlebihan sehingga menyebabkan pemborosan pangan.
Bahkan dalam UU yang disahkan pemerintah China pada April 2021 tersebut secara eksplisit melarang Mukbang bagi para influencer yang di-upload di media sosial. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi denda 100.000 yuan atau sekitar Rp 220 juta.
UU anti-food waste ini merupakan langkah konkret pemerintah China memerangi sampah pangan. Terjadinya kelaparan, gagal panen akibat bencana alam, hingga pandemi Covid-19 menjadikan isu food waste harus segera ditangani dan harus ada regulasi yang “memaksa” masyarakat untuk sadar terhadap pemborosan pangan.
Kampanye dan sosialisasi belum cukup untuk mengubah perilaku masyarakat untuk terlibat aktif dengan kesadaran penuh menekan food waste.
Meski demikian, dalam proses penyusunan regulasi tersebut harus mengakomodasi masukan dari berbagai kalangan masyarakat dan mempertimbangkan berbagai aspek.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya