Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
CIRCULAR ECONOMY

Potret Sampah 6 Kota, Ini Paparan Litbang Kompas dan Net Zero Waste Management Consortium

Kompas.com - 28/11/2023, 16:09 WIB
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.comPengelolaan sampah perkotaan masih menjadi persoalan serius di Tanah Air. Faktanya, kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di sejumlah daerah terbatas dan cenderung penuh.

Kondisi tersebut menjadi sinyal bahwa pengelolaan sampah di Indonesia berada dalam titik kritis. Belum lagi dengan kian banyak timbulan sampah yang tak dikelola secara optimal. Hal ini menambah serius masalah sampah karena dapat berdampak terhadap lingkungan, kebersihan, dan kesehatan masyarakat.

Kepala Sub Direktorat Ekonomi Sirkular Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wistinoviani Adnin mengamini hal itu.

Perempuan yang akrab disapa Novi itu mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir, sedikitnya terdapat 30 TPA sampah di sejumlah daerah di Indonesia terbakar.

Adapun TPA sampah yang mengalami kebakaran umumnya masih menggunakan metode penanganan sampah sederhana atau open dumping.

Baca juga: Punya Program Pengelolaan Sampah, 11 Sekolah di Jaksel Dapat Penghargaan Adiwiyata dari KLHK

Fakta tersebut dipaparkan Vinda dalam lokakarya nasional serangkaian pelaporan hasil riset berjudul “Potret Sampah Enam Kota: Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya, dan DKI Jakarta” hasil kerja sama Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC) dan Litbang Kompas di Jakarta, Rabu (22/11/2023).

“Kebakaran pada puluhan TPA mengindikasikan pengelolaan sampah yang belum optimal. Tidak hanya itu, ketersediaan infrastruktur, sarana, dan prasarana (sarpras) pengelolaan sampah juga belum maksimal,” ujar Novi.

Novi melanjutkan, penanganan sampah di TPA padahal sudah termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mendorong percepatan penyusunan peta jalan (roadmap) pengurangan sampah oleh produsen melalui Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 75 Tahun 2019. KOMPAS.com/Yakob Arfin T Sasongko Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mendorong percepatan penyusunan peta jalan (roadmap) pengurangan sampah oleh produsen melalui Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 75 Tahun 2019.

Berdasarkan UU tersebut, lanjut Novi, penanganan sampah merupakan tanggung jawab pemerintah.

“Meski begitu, upaya pengurangan sampah hingga berakhir ke TPA adalah tanggung jawab bersama, baik pemerintah, produsen, maupun masyarakat,” kata Novi.

Baca juga: Banyak Pemda Belum Lakukan Pengelolaan Sampah di TPA

Setali tiga uang dengan Novi, Ketua Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC) sekaligus Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, mengatakan, TPA yang mengalami kebakaran mencerminkan upaya pengelolaan dan penanganan sampah yang belum maksimal.

Bahkan, Ahmad menilai bahwa persoalan sampah di Tanah Air nyaris tak ada perubahan selama 17 tahun terakhir.

Bak jalan di tempat, lanjut Ahmad, permasalahan sampah saat ini tak jauh berbeda dengan kondisi persampahan di Indonesia 17 tahun silam yang dituangkan dalam riset tentang sampah di lima kota pada 2006, yaitu dominasi sampah plastik kemasan ukuran kecil.

“Hingga saat ini, belum ada praktik pengurangan sampah melalui pengumpulan dan pembuangan sampah terpilah dengan pemanfaatan sampah seoptimal mungkin,” terang Ahmad.

Potret sampah 6 kota

Grafik pengetahuan-aturan pengelolaan sampah hasil penelitian kuantitatif bertajuk ?Pengelolaan Sampah: Persepsi, Penerapan, dan Harapan? oleh Litbang Kompas. Dok. Litbang Kompas Grafik pengetahuan-aturan pengelolaan sampah hasil penelitian kuantitatif bertajuk ?Pengelolaan Sampah: Persepsi, Penerapan, dan Harapan? oleh Litbang Kompas.

Pada kesempatan tersebut, Peneliti Litbang Kompas Nila Kirana memaparkan laporan hasil penelitian kuantitatif bertajuk “Pengelolaan Sampah: Persepsi, Penerapan, dan Harapan”.

Baca juga: Pelatihan Pengelolaan Sampah Digelar di Desa Wisata Edelweiss

Nila menjelaskan, penelitian kuantitatif Litbang Kompas digelar di enam kota di Indonesia, yakni Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Samarinda, dan Makassar. Dalam survei ini, Litbang Kompas mewawancarai 600 responden dari enam kota tersebut.

Selain itu, pihaknya juga memotret tingkat awareness masyarakat terkait 11 aspek. Adapun aspek tersebut meliputi aturan pemerintah daerah yang mengatur tentang jenis kemasan produk yang aman dan pendanaan oleh pemerintah.

Selain itu, sosialisasi RT/RW, aturan pemerintah daerah yang melarang kemasan kecil, pelatihan (pengelolaan sampah) oleh RT/RW, aturan RT/RW terkait pemilahan sampah, serta aturan RT/RW terkait pengambilan sampah terpilah.

Tidak hanya itu, responden juga ditanya lebih jauh mengenai pengawasan pengelolaan sampah oleh RT/RW, kontribusi produsen, pemberian sanksi oleh RT/RW, dan penghargaan bagi warga dalam pengelolaan sampah.

“Jika dilihat berdasarkan kota wilayah penelitian, hasil survei menunjukkan bahwa responden di Kota Samarinda memiliki pengetahuan yang cukup tinggi terhadap beberapa aspek dalam pengelolaan sampah. Pada aspek pendanaan pemerintah, pengetahuan responden terhadap adanya pendanaan pengelolaan sampah di wilayah responden adalah sebesar 65,6 persen,” paparnya.

Baca juga: Saat Negara Tetangga Kagum dengan Pengelolaan Sampah di Banyumas

"Jawara" sampah

Ketua Harian NZWMC Amalia S Bendang menyebutkan, jenis sampah plastik, bekas kemasan, ataupun serpihannya, menjadi sampah yang paling banyak ditemukan. Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa manajemen sampah di daerah belum optimal. Dok. Tangkapan layar paparan materi Net Zero Waste Management Consortium Ketua Harian NZWMC Amalia S Bendang menyebutkan, jenis sampah plastik, bekas kemasan, ataupun serpihannya, menjadi sampah yang paling banyak ditemukan. Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa manajemen sampah di daerah belum optimal.

Lebih lanjut, proses riset audit sampah yang dilakukan di enam kota dengan titik sampling mencakup TPA, TPS, dan berbagai lokasi, seperti pinggir jalan, pesisir, dan badan sungai.

Dalam audit kolaborasi Litbang Kompas dan NZWMC itu berhasil mengidentifikasi 1.930.495 potongan sampah dari enam kota yang terdiri dari 635 jenis sampah.

Adapun jenis sampah yang menjadi “juara” alias mendominasi adalah serpihan sampah plastik berbagai merek. Kemudian, plastik kresek menempati posisi kedua.

Berikutnya, bungkus mi instan menempati posisi ketiga, cup air mineral menempati posisi keempat, dan botol minuman berkarbonasi menempati posisi kelima.

“Sampah saset cukup banyak timbulannya, termasuk di kawasan yang sudah settle peruntukannya (bukan tempat sampah). Fakta di lapangan menunjukkan tidak ada upaya clean-up, baik oleh masyarakat, pemerintah, maupun produsen,” kata Nila.

Baca juga: 10 Negara dengan Pengelolaan Sampah Terbaik

Adapun timbulan sampah saset didominasi oleh produk sampo, minuman instan bubuk, deterjen, serta penyedap rasa.

Sampah bungkus plastik pun bertebaran serta ditemukan di seluruh titik sampling dalam investigasi audit sampah tersebut.

“Kemasan plastik bungkus tisu, minyak goreng, tube pasta gigi, dan skincare juga masih menjadi material timbulan sampah di TPA serta lokasi lingkungan lainnya,” ujar Nila.

Optimalisasi penerapan regulasi

Terkait hal itu, Ketua Harian NZWMC Amalia S Bendang menyebutkan, jenis sampah plastik, bekas kemasan, ataupun serpihannya, menjadi sampah yang paling banyak ditemukan.

Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa manajemen sampah di daerah belum optimal. Contohnya, pengangkutan sampah masih menggunakan kendaraan dengan bak terbuka dan dioperasikan pada siang hari sehingga berdampak pada kemacetan di jalan.

Baca juga: Ganjar Tekankan Pentingnya Pengelolaan Sampah yang Hasilkan Nilai Tambah

“Dari hasil riset itu disimpulkan, antara lain, diperlukan perbaikan infrastruktur persampahan di daerah oleh pemerintah daerah. Selain itu, penerapan regulasi tentang sampah dengan optimal. Hal ini termasuk pemberlakuan mekanisme sanksi dan penghargaan, serta diikuti pendidikan pengelolaan dan pengurangan sampah bagi publik,” kata Amalia.

Di sisi lain, lanjut Amalia, keberadaan sampah kemasan di TPA ataupun titik timbulan sampah di berbagai kota mengindikasikan belum dijalankannya mandat pengurangan sampah secara efektif.

Adapun mandat tersebut merupakan komitmen produsen serta pebisnis ritel melalui extended producer responsibility (EPR) dan ekonomi sirkular.

“Diperlukan langkah tegas dengan law enforcement untuk men–trigger percepatan pengurangan sampah, serta mewujudkan keadilan (fairness) sehingga menjadi wujud penghargaan bagi pihak yang telah menjalankan pengelolaan dan pemilahan sampah secara optimal,” jelasnya.

Dorongan up-sizing kemasan

Sebagai informasi, KLHK telah mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri (Permen) LHK No 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Adapun target pengurangan sampah oleh produsen, yaitu sebesar 30 persen pada akhir 2029.

Baca juga: Mengintip Cara Pengelolaan Sampah Unpad, Optimalkan Metode Aerob dan Anaerob

Berdasarkan fakta ketidak-taatan para produsen dengan ditemukannya sampah kemasan mereka di TPS, TPA, dan lingkungan hidup, maka KLHK harus melakukan serangkaian aksi untuk review dan konsolidasi guna penerapan sanksi pelanggaran, baik administratif maupun pidana (pidana pengelolaan sampah dan atau pidana korporasi).

Adapun sanksi atas ketidaktaatan produsen dalam melaksanakan program pengurangan sampah harus sesuai dengan ketentuan Permen LHK No 75/2019, PP No 81/2012, serta UU No 18/2008.

Pada dasarnya, desain dan ukuran kemasan tidak diatur terkait perizinannya. Kecuali, melekat pada izin produksi yang harus memperoleh izin dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Namun demikian, redesign kemasan untuk tujuan up-sizing dalam rangka menurunkan potensi timbulan sampah kemasan memiliki kekuatan memaksa sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 20 ayat 3 UU Nomor 18/2008, “menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin”, dengan konsekuensi diberlakukannya sanksi administrasi (Pasal 32), pidana pengelolaan sampah (Pasal 40) maupun pidana korporasi (Pasal 42), sesuai level ketidak-taatannya.

Tentu, itikad baik dari produsen dan retailer adalah di atas segalanya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com