Aksi penurunan emisi GRK di sektor proses industri dan penggunaan produk (IPPU) adalah pengurangan “clinker to cement ratio” di industri semen, peningkatan efisiensi di industri ammonia dan penambahan aksi mitigasi lainnya.
Aksi penurunan GRK sudah barang tentu membutuhkan biaya/dana yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh negara.
Sebagai contoh dalam penurunan GRK di sektor kehutanan yang dijabarkan dalam FOLU (Forest and Other Land Use) Net Sink 2030 yang disusun pada 2022.
Penyerapan GRK ditargetkan 140 juta ton CO2e pada 2030 dan kemudian meningkat menjadi 304 juta ton setara CO2 pada 2050.
Sektor kehutanan hendak menurunkan emisi GRK 17,2 persen dari 2,87 miliar ton perkiraan emisi 2030 dalam skenario penurunan emisi nasional 29 persen.
Untuk itu dalam dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 disebutkan bahwa total biaya daur hidup yang dibutuhkan untuk kegiatan mitigasi LTS-LCCP menuju net sink untuk periode 2020-2030 diproyeksikan sebesar Rp 204.02 triliun (Rp 18,55 triliun per tahun).
Total kebutuhan biaya tersebut masih jauh di atas ketersediaan dana (defisit) yang dihitung dari proses tagging pendanaan RPJMN untuk kegiatan mitigasi 2020-2024, yakni sebesar Rp 19,61 triliun (Rp 3,92 triliun per tahun) (KLHK 2021).
Jadi, dalam mencapai skenario LCCP yang paling ambisius, dijelaskan kembali oleh Indonesia bahwa terdapat kesenjangan dana untuk kebutuhan aksi mitigasi hingga mencapai Rp 74 triliun (Rp 14,8 triliun per tahun).
Belum lagi, kita bicara mengenai kebutuhan penurunan emisi GRK dari sektor lain seperti sektor energi, sektor pertanian, sektor industri dan penggunaan produk (IPPU); sudah barang tentu total defisit pembiayaan penurunan GRK secara keseluruhan akan membengkak lebih besar.
Pembiayaan penurunan GRK yang diharapkan dari perdagangan karbon melalui bursa karbon ternyata belum dapat terealisasi sesuai harapan.
Sementara pajak karbon yang menjadi penopang utama dalam penurunan GRK masih akan berlaku tahun 2025, itupun masih wait and see menunggu kondisi politik dan ekonomi Indonesia stabil lebih dahulu.
Di balik musibah perubahan dan krisis iklim dunia yang harus dipulihkan, ditekan dan diturunkan kenaikan emisi GRK secara global; Indonesia sebagi negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa yang mempunyai hutan tropika basah ketiga di dunia nampaknya diuntungkan dan memperoleh berkah ekonomi dari musibah krisis iklim ini melalui konsep menjual karbon yang jumlahnya melimpah.
Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar dollar AS sampai 100 miliar dollar AS.
Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Anggota Komisi Kehutanan DPR, Kamrussamad, memperkirakan potensi ekonomi bursa karbon Indonesia bersumber dari hutan tropis seluas 120,3 juta hektare dapat menyerap emisi karbon 25,18 miliar ton; mangrove seluas 3,31 juta hektare dan menyerap 33 miliar ton serta hutan gambut seluas 7,5 juta hektare yang menyerap 55 miliar ton.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya