JAKARTA, KOMPAS.com - Foto para pemimpin dunia di COP28 dijuluki oleh media massa sebagai foto keluarga.
Saat para pemimpin dunia berkumpul di KTT Kasi Perubahan Iklim Dunia atau COP28 untuk mengatasi isu perubahan iklim yang mendesak, ada satu hal yang terlihat jelas dalam foto grup tersebut.
Tidak seperti kebanyakan keluarga, yang mengenakan jas dan dasi, sangat sulit untuk melihat wajah-wajah perempuan, sehingga menimbulkan pertanyaan: Di manakah para perempuan yang terlibat dalam perbincangan kritis mengenai masa depan planet ini?
Meskipun urgensi tindakan terhadap perubahan iklim menjadi titik fokus diskusi, melihat kesenjangan gender yang terus-menerus terjadi dalam peran kepemimpinan, namun dalam hal-hal yang penting secara global, dianggap sangat memprihatinkan.
Bahkan, aktivis iklim Brianna Fruean, menganggapnya sangat menghancurkan jiwa.
"Saat kita berupaya menuju transisi yang adil, inklusivitas harus menjadi yang terdepan, hal ini dimulai dengan keterwakilan yang setara," tegas Brianna, dikutip Kompas.com, dari Context, Kamis (7/12/2023).
Baca juga: Komnas Perempuan Dorong Pemilahan Data Pembunuhan Berbasis Gender
Selama KTT Aksi Perubahan Iklim Dunia, 140 pemimpin dunia dijadwalkan untuk memberikan pidato, hanya 15 di antaranya atau kurang dari 10 persen merupakan perempuan.
Selain itu, analisis delegasi di COP28 menunjukkan keseimbangan gender di delegasi partai adalah 62 persen laki-laki dan 38 persen perempuan, yang merupakan peningkatan dari COP sebelumnya yang menyoroti kesenjangan gender.
Absennya perempuan dalam narasi visual COP28, yang tecermin dalam absennya perempuan di ruang sidang paripurna, menimbulkan kekhawatiran mengenai beragam suara perempuan benar-benar didengar dan dimasukkan ke dalam kebijakan iklim.
Bukan rahasia lagi bahwa perempuan adalah kelompok yang paling terkena dampak perubahan iklim, khususnya di komunitas yang rentan.
Mulai dari kelangkaan air hingga kerawanan pangan, perempuan menanggung beban krisis lingkungan hidup, namun suara mereka masih terpinggirkan.
Baca juga: Perempuan Harus Diberi Ruang Strategis Dalam Pembangunan
Penting untuk menyadari bahwa perjuangan untuk keadilan iklim pada dasarnya terkait dengan kesetaraan gender. Perempuan bukan hanya korban pasif perubahan iklim; mereka adalah agen perubahan yang kuat.
Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa ketika perempuan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, hasilnya akan lebih berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua orang.
Perspektif, pengalaman, dan solusi unik mereka sangat berharga dalam menyusun kebijakan komprehensif untuk mengatasi berbagai tantangan perubahan iklim.
"Untuk mencapai kemajuan yang berarti, kita memerlukan lebih dari sekadar basa-basi mengenai kesetaraan gender," cetus Brianna.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya